Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Panji Koming dan sahabatnya, Pailul, berdiri di pinggir jalan. Mereka melihat lima pamong berjalan beriringan. Masing-masing membawa segulungan kertas. Dengan jail Koming berseloroh, ”Wah, kok berduyun-duyun, berdarmawisata, ya.” ”Hus, kita mau sarasehan, ni. Membicarakan perbaikan nasib kalian,” jawab seorang pamong.
Tak lama kemudian, rombongan pamong itu kembali melintas. Kali ini jumlah gulungan kertas yang mereka bawa lebih banyak. ”Wah, pasti mau sarasehan lagi,” kata Koming. Sang pamong pun menjawab: ”Ya, membicarakan jikalau nasib kalian nanti sudah baik, lantas apa lagi.”
Ketika rombongan pamong melintas lagi dengan berkarung-karung kertas, Koming bertanya, ”Sudah ada hasilnya?” Sambil ngeloyor pergi, sang pamong menjawab, ”Ya, keputusan menghabiskan dana sarasehan dengan mengadakan sarasehan yang menentukan isi sarasehan berikutnya.”
Inilah salah satu kisah Panji Koming, komik strip yang muncul pada Minggu, 14 Februari 1982. Lucu dan penuh sindiran. Tokoh rekaan buatan Dwi Koendoro Brotoatmodjo itu memang dikenal lugu, sedikit bodoh, dan sering bingung. Bersama sahabatnya, Pailul, yang rada urakan, ceplas-ceplos tapi sering betul, Koming mengumbar kejenakaan dan kejailannya di tengah para pamong, prajurit, adipati, petinggi dan sang resi.
Kisah Panji Koming yang menyindir kelakuan para wakil rakyat itu dipajang dalam pameran bertajuk Wharakadah! A Tribute to Dwi Koen Br, yang digelar di lobi Gedung Kompas Gramedia, Jakarta, 13-15 Mei 2011. Pameran itu dibuka tepat pada hari jadi penciptanya yang ke-70. Lewat pameran ini, kita bisa melihat bagaimana konsistensi Dwi Koen melempar kritik kepada penguasa, dari Soeharto, Habibie, Gus Dur, Megawati, sampai Susilo Bambang Yudhoyono.
Pameran yang digelar Kompas dan Persatuan Kartunis Indonesia Jakarta itu membagi karya-karya Dwi Koen dalam tiga dekade: Dekade Depresi (1979-1988), yang disebut ”guyon parikeno” berhadapan dengan penguasa represif, rakyat bercanda sambil tiarap; Dekade Transisi (1989-1998), ketika rakyat melihat lalu lintas dimensi tak bertepi dari pinggir trotoar; dan Dekade Reformasi, eh... Depresi, yang disebut zaman culun yang acakadut, menyebalkan tapi tetap tersenyum dan merenung. Pameran ini juga diramaikan oleh gambar-gambar karikatur wajah Dwi Koen buatan para kartunis, seperti Lasril Las, Is Ariyanto, Joko Hardiyanto, dan Ahmad Syarifudin.
Nama Dwi Koen memang amat lekat dengan Panji Koming, komik strip yang hadir rutin di edisi Minggu harian Kompas. Komik ini mulai muncul pada 14 Oktober 1969. Dwi menggunakan kisah rakyat jelata bernama Koming dengan latar Kerajaan Majapahit sebagai analogi bagi kondisi Indonesia masa kini. ”Saya mau menyindir perilaku yang tidak manusiawi dengan bahasa yang tidak terlalu vulgar, dengan canda,” kata Dwi.
Selain Koming dan Pailul, ada Ni Woro Ciblon, kekasih Koming yang ayu dan berbudi halus khas wanita Jawa, dan Ni Gembil, yang bertubuh subur, garang, dan tegas seakan mewakili tokoh perempuan feminis. Sejak era reformasi, Dwi Koen juga menambah tokoh hewan bernama Kirik. Anjing ini sering kali menggigit tokoh pemimpin menyebalkan di akhir cerita. Ada juga dua bocah Trinil dan Bujel.
Tokoh-tokoh komik ini banyak kemiripannya dengan komik Prancis, Asterix, karya Rene Goscinny dan Albert Uderzo, yang menampilkan pasangan kompak Asterix, yang bertubuh kecil tapi cerdas serta kuat, dan Obelix, yang lugu, gendut, dan suka makan. Pada Panji Koming, pasangan itu menjadi Koming dan Pailul. Kirik mengingatkan kita pada Idefix. Pamong praja di atas tandu mengingatkan kita pada Abraracourcix, kepala suku yang selalu tegak di atas tameng. Tapi, sementara Asterix lebih banyak menekankan humor, Panji Koming sarat kritik.
Di setiap komik Panji Koming terkandung pesan dan sindiran atas berbagai peristiwa aktual pada saat terbitnya. Tapi kehadirannya juga terkungkung politik. Pada masa Orde Baru, gambar-gambar Dwi yang dinilai terlalu berani terpaksa tak dapat naik cetak. Tapi, sejak 1999, ketika Soeharto terjungkal dari takhta kepresidenannya, Dwi lebih berani. Dan selama lebih dari 30 tahun ia konsisten dengan sindirannya itu.
Dwi Koendoro sempat kuliah di Akademi Seni Rupa Indonesia Yogyakarta, tapi berhenti ketika pecah peristiwa 30 September 1965. Dia meniti kariernya dengan menjadi ilustrator harian Kedaulatan Rakyat, kemudian masuk dunia pertelevisian di Surabaya sebelum berangkat ke Jakarta menjadi ilustrator dan kartunis di majalah Stop serta Senang, dan akhirnya bekerja sebagai ilustrator di PT Gramedia.
Selain Panji Koming, Dwi menciptakan komik terkenal Sawung Kampret, dengan tokoh utama Sawung Kampret dan sahabatnya, Naip bin Jali. Komik ini terbit pertama kali pada 1990 di majalah Humor dan kemudian menjadi sinetron di SCTV. Edisi komiknya antara lain Legenda Sawung Kampret, Malacca & Mencari Harta Karun Flor De La Mar, Marietje Van Der Bloemkool, Ni Woro Sendang, dan Warok Surobongsang.
Meskipun usianya sudah menginjak angka 70, lelaki kelahiran Banjar, Jawa Barat, 13 Mei 1941, itu tetap menggambar Panji Koming. Tapi kegiatannya tak sesibuk dulu. Dia kini lebih banyak menghabiskan waktu di rumahnya, kawasan Bintaro, Jakarta Selatan. Dia memanfaatkan waktu untuk tidur atau melakukan hobinya bermain piano dan mendengarkan musik.
Dwi pernah terkena stroke ringan pada 2001 dan kondisi fisiknya kerap naik-turun. ”Bapak kurang sehat,” kata Dewasih, sang istri. Selain menderita tekanan darah tinggi, Dwi harus berjibaku melawan penyakit asam urat yang sering kambuh. Pekan lalu, misalnya, penyakit asam uratnya kembali kambuh. ”Jempol kakinya membengkak,” kata Dewasih. Ketika pembukaan pameran, Dwi Koen harus berjalan dipapah.
Meskipun demikian, Dwi Koen tak pernah berhenti berkarya. Setiap pekan, ia mulai mengonsep Panji Koming sejak Senin dan menyelesaikannya pada Jumat. Dia mengambil ide dari berbagai isu dan peristiwa yang berkembang di masyarakat. Setiap Sabtu, lelucon kritis itu dikirim ke redaksi Kompas agar bisa terbit pada Minggu. ”Ya, gimana lagi, sudah kontrak mati, mau tidak mau harus menggambar,” katanya setiap ditanya soal kesetiaannya itu.
Nunuy Nurhayati, Kurniawan
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo