Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Ketika Konstituante bubar, saya kembali ke dunia asal. Banyak kolega menawari pekerjaan di Jakarta. Saya diperbantukan di komisi yang dipimpin Sri Sultan Hamengku Buwono IX di Jakarta. Tapi saya menolak karena ingin merampungkan kuliah yang selama ini terhambat.
Semasa revolusi fisik, saya harus memanggul senjata. Pada 1950, saya masuk Sekolah Tinggi Hukum di Surabaya, yang menjadi cikal bakal Fakultas Hukum Ekonomi Sosial dan Politik Universitas Gadjah Mada. Tiga tahun kemudian saya hijrah ke Universitas Indonesia, tapi terhalang menjadi sarjana karena menjadi anggota Konstituante.
Waktu itu saya mahasiswa tingkat akhir. Saya ditawari pekerjaan menjadi asisten dosen Profesor Ernst Utrecht, yang juga anggota Konstituante. Karena itu saya memutuskan menyelesaikan kuliah dan mundur dari dunia politik praktis. Saya memilih Universitas Padjadjaran, Bandung, tempat Profesor Utrecht mengajar.
Bandung juga menjadi pilihan saya memulai hidup baru. Saya menikahi Kundewi, wanita yang saya kenal sejak di Jakarta. Di awal perkawinan, saya masih tinggal di Jalan Lengkong Kecil, bekas tempat kos saya semasa masih jadi anggota Konstituante. Di situ pula putra-putri saya lahir. Kemudian saya pindah ke Jalan Tengku Angkasa, sampai sekarang.
Tak mudah menjadi asisten dosen merangkap mahasiswa tingkat akhir sekaligus kepala rumah tangga. Tapi saya melakoninya dengan senang hati. Saya juga bekerja paruh waktu sebagai guru di mana-mana. Juga sebagai Sekretaris Gabungan Perusahaan Sejenis Perkebunan di Bandung. Pendapatan yang diperoleh setiap bulan dari sana melebihi honor mengajar.
Saya menjadi asisten Profesor Utrecht untuk mata kuliah pengantar ilmu hukum. Saya memang menyukai bidang ilmu ini. Meskipun sebenarnya keputusan mengambil bidang hukum tata negara itu tak sengaja.
Sewaktu mengikuti ujian Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada, saya memilih jurusan hukum pidana. Tapi waktu ujian lisan dengan Profesor Mr Mulyatno, hasilnya buruk, meskipun masih dalam batas lulus. Sebaliknya sewaktu ujian ilmu tata negara dengan Mr A.G. Pringgodigdo, hasilnya tertinggi. Kemudian Profesor Usep Ranuwihardja menawari menjadi asisten di jurusan hukum tata negara. Itu sekitar tahun 1961.
Begitu lulus, karier saya cepat melesat. Sempat diangkat menjadi pembantu dekan III, semula tawaran itu saya tolak dengan alasan butuh waktu untuk belajar. Padahal, agar saya punya waktu lebih banyak di Gabungan Perusahaan Sejenis Perkebunan. Waktu itu, saya ingat gaya Pak A.K. Gani saat menolak tawaran Presiden Soekarno untuk menjadi duta besar. ”Kalau Bung memindahkan, saya mau, asal di situ ada pohon petai,” ujarnya.
Soekarno paham, itu cara Gani menolak tawarannya. Namun cara itu tak mempan untuk saya. Pak Usep sebagai dekan justru memenuhi semua yang saya minta. Misalnya, saya disediakan rumah, diperbolehkan kerja paruh waktu, dan kesempatan belajar ke luar negeri. Ketiganya diberikan dalam tempo singkat. Sungguh, senjata makan tuan.
Tapi mungkin itu sudah menjadi suratan takdir saya. Mendalami hukum tata negara membawa saya mengikuti postdoctoral onderwijs pada Faculteit der Rechtgeleerdheid van de Rijksuniversiteit te Leiden, Netherland. Itu sandwich program. Jadi saya kuliah di sana, doktornya tetap saya peroleh di Bandung pada 1978. Disertasi saya tentang perubahan UUD 1945.
Keseriusan meneliti amendemen UUD 1945, meski tinggal dan mengajar di Bandung, membuat saya tetap wara-wiri ke Jakarta. Sejumlah tokoh dari kalangan politik dan pemerintahan meminta pendapat saya sebagai cendekiawan. Mungkin ini jalan pengabdian yang tepat. Saya tetap berjuang, meski sebagai cendekiawan.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo