Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Perkenalan saya dengan alam bermula di kelas lima sekolah dasar. Saat itu kami sekeluarga tinggal di Lahat, Sumatera Selatan. Saya diajar oleh guru Belanda bernama De Jong. Guru inilah yang memupuk kecintaan saya pada alam. Hampir setiap Sabtu, ia mengajak kami berjalan jalan ke hutan. Di sana kami memperoleh pelajaran berharga.
Awalnya kami sebal bila disuruh ke hutan. Pacet menjadi masalah bagi kami. Begitu sampai hutan, hewan ini dengan tangkas menyedot darah kami. Mulai kaki hingga lengan. Ternyata De Jong memberikan perspektif baru tentang pacet. Ia perlihatkan kepada kami bahwa pacet menyukai kehangatan. Maka ketika ke hutan, kami mencari pacet. De Jong menyebutnya sang kompas alam. Pacet akan menunjukkan pada kita ke mana arah matahari.
De Jong juga mengajari kami pentingnya keberadaan beruk bagi manusia di hutan. Tatkala tersesat di hutan, ia menyuruh kami mencari beruk. Rupanya monyet berekor panjang itu sering menyanyi setelah makan. Nah, makanan beruk itu bisa dimakan manusia, karena usus monyet dan manusia hampir sama.
Guru Belanda ini mengajarkan kepada saya sejak awal perihal kearifan alam. Dari De Jong ini pula saya memetik pelajaran betapa pentingnya menanamkan kecintaan alam pada anak sejak dini. Kerusakan alam di seluruh dunia sudah sedemikian dahsyat. Lebih dari seratus negara kini merundingkan target nyata mengurangi emisi gas rumah kaca di Kopenhagen, Denmark. Nah, tak akan percuma jika kita para orang tua—memulai menjaga lingkungan dari lingkup terkecil, dari mengajarkan kecintaan alam pada anak.
”Lihatlah keindahan ini. Tolong jaga baik baik,” begitu ucap De Jong ketika mengajak kami mendaki Bukit Serelo dan melihat Sungai Lematang serta pematang sawah di kaki bukit. Itu rupanya pertemuan terakhir kami dengan De Jong, yang harus kembali ke Belanda ketika pecah perang Jerman Belanda. Saat dewasa, saya pernah mencari beliau di Belanda. Sayang, ia sudah tiada.
Persinggungan saya dengan masalah lingkungan kembali terjadi pada 1972. Saat itu saya sebagai Wakil Kepala Badan Perencanaan dan Pembangunan Nasional menjadi ketua rombongan Indonesia dalam konferensi lingkungan di Stockholm, Swedia. Jujur saja, saya merasa skeptis tatkala tiba di sana. Saya merasa pertemuan itu hanyalah upaya negara maju menambah persyaratan bagi negara berkembang.
Rupanya, sikap saya ini ditangkap oleh Perdana Menteri India Indira Gandhi. Beliau mengundang saya sarapan pagi sembari berdiskusi. Saya suka pendekatan beliau. Indira berhasil membuka mata saya dengan penjelasannya yang telak. ”Saya tahu kita dari negara berkembang, kita curiga pada negara maju. I share your opinion,” ujarnya.
Indira menjelaskan bahwa masalah lingkungan tak sekadar hubungan kaya dan miskin. Justru kerusakan lingkungan akan memukul warga miskin lebih parah. Jadi bukan negara kaya saja yang akan terkena dampak lingkungan hidup, negara berkembang juga akan mendapat imbasnya. ”Jadi kita harus bergerak. For the poor,” Indira menegaskan. Terbuka mata saya. Pendapatnya sangat masuk akal. Pertemuan ini kemudian saya laporkan ke Pak Harto setelah sampai di Jakarta.
Penunjukan sebagai Menteri Lingkungan Hidup juga tak akan pernah saya lupakan. Saat itu, 1978, saya diajak Pak Harto naik kapal motor pagi pagi. Semula saya berpikir kami akan memancing. Beliau membawa saya berkeliling dari laut hingga muara Sungai Ciliwung. Saya melihat dengan mata sendiri betapa kotornya kondisi di sana. Beliau pun mengeluhkan keadaan ini. ”Sepuluh tahun saja sudah begini, bagaimana 20 tahun lagi?” katanya sedih. Ia pun menceritakan masa kecilnya di Wonosari, bermain dengan alam.
Setelah membicarakan muara sungai yang kotor itu Pak Harto berkata kepada saya, ”Jij bisa bantu saya menjadi menteri lingkungan?” Saya kebingungan. Saya katakan kepada beliau saya ini ekonom, bukan ekolog. Pak Harto rupanya pandai meyakinkan. Ia menjawab, ”Ekonomi kan mengatur rumah tangga manusia. Ekologi mengatur rumah tangga alam. Sama sama rumah tangga kan?” ucapnya. Meski bingung, permintaan itu saya terima. Mengapa? Karena saya suka idenya: membangun tanpa merusak alam.
Untuk itulah saya sangat berterima kasih kepada rekan rekan lembaga swadaya masyarakat. Mereka justru mendatangi saya ketika tak ada pegawai pemerintah yang mau membantu. Mereka saat itu dikenal sebagai Kelompok 10, di antaranya Erna Witoelar. Mereka hanya bisa saya bayar dengan nasi bungkus, tak ada fasilitas. Namun militansi mereka sungguh hebat. Kementerian ini dibangun oleh mereka. Tanpa mereka, mati saya.
Pada saat awal menjabat, fasilitas paling modern yang saya miliki adalah telepon mobil, peninggalan sejak menjadi Menteri Perhubungan. Kantor masih menumpang di Bappenas. Namun saya tak putus asa. Kunci keberhasilan di bidang lingkungan hidup adalah merangkul Presiden. Dia harus diyakinkan untuk mendukung.
Pernah ada kasus di Gombong, Jawa Tengah, pada 1980 an. Daerah itu merupakan dataran kapur yang juga menjadi bahan semen. Orang selalu meminta mendirikan pabrik semen di situ. Tapi, bila pabrik dibangun, bukit kapur akan hancur. Orang orang yang kenal dengan Pak Harto ingin juga membangun pabrik.
Saya lalu menghadap beliau. Saya cerita tentang daerah Gombong. Di bawah bukit kapur, ada aliran air bawah tanah yang tembus hingga ke Gunung Kidul, Yogyakarta. Beliau tahu itu. Saya menceritakan betapa Gunung Kidul membutuhkan pasokan air itu. Nah, beliau bilang bahwa bukit kapur itu perlu dipertahankan. Kemudian saya mengungkapkan bahwa teman teman beliau ingin membangun pabrik semen di Gombong. Pak Harto langsung bilang tak setuju. Mundurlah teman beliau.
Kendala lain muncul dari sesama kolega menteri. Banyak menteri yang saat itu mengakui pentingnya lingkungan. Tapi mereka meminta waktu lima tahun untuk membangun departemennya dulu, baru ikut mengurusi lingkungan. Tentu ini kerap menimbulkan konflik dengan menteri lain.
Saya lupa kapan, tapi ada rencana pembangunan pembangkit listrik di Bedugul, Bali. Para biolog menemui saya. Mereka mengabarkan rencana Departemen Pertambangan tersebut. Karena tak tahu, saya mengatakan bukankah pembangunan pembangkit itu bagus. Mereka pun memarahi saya. Rupanya, pembangunan pembangkit listrik itu akan mengancam satu satunya plasma nutfah cemara pendek yang hanya hidup di Indonesia. Saya sempat bertanya, apakah cemara pendek ini tak bisa dipindah ke lokasi lain. Mereka bilang tak bisa. Karena ini ber kaitan dengan ekosistem.
Konflik ini kemudian tak bisa diatasi oleh Menteri Koordinator Ekonomi, Keuangan, dan Industri Widjojo Nitisastro. Ia pun meminta saya dan Menteri Pertambangan Subroto menghadap Presiden. Di depan Presiden, Subroto dengan tangkas menerangkan keuntungan ekonomis pembangkit listrik ini. Apalagi Bali saat itu tak memiliki cukup listrik. Kemudian Pak Harto bertanya, ada masalah lingkungan? ”Cemara pendek,” jawab saya. Pak Harto sempat heran. ”Apa tidak bisa dipindah ke tempat lain?” tanya Pak Harto.
Saya kemudian memberi contoh tanaman salak pondoh. Pak Harto sebagai warga Yogyakarta menggemari salak. Karena itu, beliau berusaha menanam salak pondoh di Tapos, Depok, pusat peternakan dan pertanian miliknya. ”Bapak menanam salak pondoh di Tapos, bukan? Hasilnya enggak terlalu bagus. Kenapa itu terjadi? Jawabannya ekosistem, Pak,” kata saya. Beliau mengerti analogi tersebut. Lantas ia bertanya pada Subroto, adakah alternatif lain pembangkit? Rupanya Bali tetap bisa mendapat listrik melalui Jawa Timur. Sedangkan cemara pendek tak ada alternatifnya. Jujur saja, kalau ada yang bertanya apa pentingnya cemara pendek, saat itu saya tak tahu. Tapi semangat para biolog itu yang membuat saya ngotot mempertahankan hutan Bedugul.
Namun pernah juga saya merasa sedih. Tentang kasus PT Indorayon yang didirikan dekat Danau Toba, Sumatera Utara, pada 1983. Masalah ini dibicarakan dalam rapat kabinet. Sayangnya, yang menentang hanya dua, Sujono dari Departemen Pekerjaan Umum dan saya dari Lingkungan Hidup. Sujono turun tangan karena masalah air di daerah itu menjadi taruhan.
Ia pun mengusulkan agar pabrik dibangun di pantai sehingga tak perlu melewati sungai. Namun, bila berkeras membangun di kawasan itu, persyaratan pencemaran ditetapkan sangat tinggi. Akhirnya saya dan Sujono kalah. Pabrik itu tetap dibangun di lokasi tersebut karena infrastruktur jalan sudah baik. Kemudian dibentuk tim dari Kementerian Negara Riset dan Teknologi serta Lingkungan membicarakan standar pencemaran. Sayang, orang yang mengecek standar di dalam pabrik berasal dari Departemen Perindustrian. Apalagi kemudian, ketika masyarakat mulai resah, yang diturunkan justru Panglima Kopkamtib. Ketika aparat keamanan turun, pertimbangan lingkungan tentu sudah tak diperhatikan lagi.
Sejak membangun kementerian ini, saya sadar pentingnya partisipasi masyarakat. Apalagi mayoritas muslim masyarakat Indonesia membuat saya juga berpaling pada ulama. Saya mengunjungi ulama terpandang saat itu, Buya Hamka. Saya bertanya bagaimana menjual lingkungan di Indonesia. Beliau menyarankan saya mendatangi pondok pesantren. Saya kemudian ke Pesantren Anuqayah Qulu Qulu di Sumenep, Madura, Jawa Timur. Madura alamnya sangat kering. Namun apa yang saya saksikan membuat saya kagum.
Saya berangkat ke sana dengan helikopter. Apa yang saya jumpai adalah hutan. Di hutan itu saya bertemu dengan para santri. Ternyata yang membangun hutan ini adalah warga pondok pesantren sendiri. Saya penasaran dengan kisah mereka. Kemudian saya bertemu dengan Kiai Basid. Kiai ini bercerita tentang perintah menjalankan salat lima kali. Nah, untuk menjalankan salat sempurna berarti harus bersih, supaya bersih harus berwudu. Air wudu harus ada air bersih, air bersih harus ada kali bersih, berarti harus ada hutan. Jadi, supaya santri bisa menjalankan salat dengan sempurna, mereka pun menanam pohon di hutan. Bagi saya penjelasan itu sangat logis.
Selain merangkul pemuka agama, kami mulai menerapkan reward and punishment secara tegas. Penghargaan diberikan dalam bentuk Kalpataru bagi tokoh lingkungan, Adipura bagi kota terbersih hingga Program Kali Bersih. Namun kementerian ini juga membutuhkan ”pentung”. Lantas berdirilah Badan Pengawas Dampak Lingkungan. Badan ini semacam Environmental Protection Agency (EPA) di Amerika Serikat.
Pendirian Bapedal membutuhkan perjuangan panjang. Banyak orang tak mau kegiatan yang mencemari lingkungan mendapat tindakan tegas. Makanya saya sangat kecewa ketika Bapedal dibubarkan sewaktu Megawati Soekarnoputri menjadi presiden. Saya sempat bicara kepada Mega. Saya jelaskan bahwa lingkungan perlu pentung. Departemen yang mencemari tak mau menggunakan pentungnya untuk menindak para pelanggar. Dia bilang fungsi Bapedal akan digantikan oleh Menteri Lingkungan Hidup. Tapi Menteri Lingkungan Hidup kan kementerian negara, wewenangnya terbatas.
Selain Bapedal, kami memiliki staf investigator yang andal. Saya ingat seorang anggota staf rela tidur di dekat sungai yang tercemar. Tindakannya itu untuk mengetahui kapan pabrik membuang limbah ke sungai. Investigator lingkungan memiliki peran penting karena saat itu aparat penegak hukum seperti polisi dan jaksa belum paham tentang lingkungan. Mereka diberi wewenang seperti polisi dan jaksa.
Pada masa awal departemen ini pula saya banyak mengirim anggota staf belajar ke Kanada. Misalnya Mas Achmad Santosa belajar hukum lingkungan, sedangkan Rohmin Dahuri belajar kelautan. Kami membutuhkan tenaga terdidik dalam bidang lingkungan. Saya meminjam pakar lingkungan Kanada, sedangkan tenaga kami kuliah di sana. Begitu staf saya kembali, ahli dari Kanada dipulangkan. Mengapa Kanada? Pemimpin lingkungan dunia banyak berasal dari Kanada. Negara ini bahkan punya kualitas lingkungan lebih tinggi daripada Amerika Serikat.
Bagi saya, momen paling berkesan saat duduk dalam Komisi Bruntland pada 1982. Saat itu dunia mulai resah akan masalah lingkungan. Jepang pun membuat prakarsa membentuk komisi yang terdiri atas beberapa negara. Komisi ini bertugas mengkaji persoalan pembangunan yang merusak lingkungan. Saya pun masuk komisi yang dipimpin oleh Perdana Menteri Norwegia Gro Bruntland. Kami bekerja selama tiga tahun. Kami pergi ke seluruh dunia. Ke Afrika, Amerika Latin, dan Asia. Karena komisi ini, saya mulai mengenal pembangunan berkelanjutan.
Setelah pensiun, saya masih diminta membantu masalah lingkungan. Bermula pada 1992. Saya hadir dalam konferensi perubahan iklim dan keanekaragaman hayati di Rio de Janeiro, Brasil. Dalam pertemuan itu saya sempat kesal pada Presiden Amerika Serikat George Bush. Meski mengaku mendukung konferensi, ia menolak menandatangani deklarasi. Padahal Indonesia menandatangani semua deklarasi.
Rupanya Bush mencium kejengkelan saya. Ia pun mengundang saya sarapan. Saat itu saya bertanya kepadanya. Mengapa negeri adidaya itu menolak turut serta. Ia menjawab bahwa secara pribadi dia setuju. Tapi sebagai presiden, Bush harus mendapat persetujuan Kongres.
Melihat kekecewaan saya, Bush ingin menebus dosa. Ia pun menawarkan dana sekitar US$ 20 juta bagi keanekaragaman hayati. Namun Bush memberikan syarat, dana ini harus dikelola lembaga swadaya masyarakat. Setelah pertemuan itu, kami berpisah. Pada 1993, saya pensiun. Kemudian pada 1994 saya mendapat telepon dari Bina Graha. Rupanya Bush menepati janji. Ia mengirim dana ke Indonesia. Tapi saat itu belum ada lembaga swadaya masyarakat yang mengurusi masalah keanekaragaman hayati. Maka Pak Harto pun meminta saya membuat lembaga itu. Itulah awal terbentuknya Yayasan Kehati. Yayasan itu hingga kini masih berjalan aktif.
Masalah lingkungan tetap menjadi perhatian saya hingga kini. Menjelang konferensi tingkat tinggi di Kopenhagen, saya terus terang merasa down, walau belum menyerah. Persoalannya adalah harus ada kesepakatan menurunkan emisi gas rumah kaca yang bukan hanya normatif. Anda harus menjelaskan berapa yang akan diturunkan, kapan, dan oleh siapa. Tapi negara maju meminta negara berkembang tak menyentuh persoalan bahan bakar minyak dan mobil, karena itu gaya hidup dan kebebasan mereka. Lihatlah mobil di Amerika, cc nya besar. Itu berarti boros energi.
Revolusi Industri sudah berlangsung sejak 1760. Mereka sudah melakukan pencemaran sejak itu. Nah, kita baru mulai mengotori pada 1950. Tapi mereka sekarang melarang kita mengotori udara. Mereka minta negara berkembang membeli teknologi yang tidak merusak alam, tapi mahal. Lha, bagaimana kami bisa membeli teknologi padahal uangnya terbatas, sementara itu rakyat kami butuh makan? Bagi saya ini tidak adil.
Maka kita bicarakan berapa ambang batas bumi. Batas pencemaran udara yang bisa ditoleransi adalah 450 miligram per meter kubik, sementara negara maju sudah mencapai 380, sisanya 70. Padahal negara lain butuh pembangunan. Berarti mereka harus turun. Itu alternatif pertama. Atau alternatif kedua, negara maju dapat membantu negara berkembang bagaimana membangun tanpa mencemarkan. Berarti bantu negara berkembang dengan alih teknologi dan kapasitas pendukungnya, serta bantuan keuangan. Sehingga dana yang kita punya bisa digunakan untuk memberantas kemiskinan dan bukan untuk mengatasi perubahan iklim.
Mereka tak mau. Mereka tetap minta negara berkembang menurunkan emisi karbon. Lantas rakyat kami bagaimana? Saya harus mengorbankan rakyat saya demi gaya hidup masyarakat negara maju? It’s impossible.
Sita Planasari Aquadini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo