Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
BAK air bah, narkotik dan obat-obatan terlarang terus melanda negeri ini. Nyaris setiap hari koran dan televisi menayangkan berita penyalahgunaan pil setan itu. ”Konsumen”-nya merata hampir di sekujur profesi: artis, pegawai negeri, politikus, bahkan polisi dan tentara. Pelajar dan mahasiswa? Jangan tanya!
Diperkirakan kini 3,2 juta orang di seluruh Indonesia pecandu narkotik. Sekitar 150 ribu orang tewas setiap tahun akibat pemakaian obat terlarang itu. Lewat hitungan sederhana, Brigadir Jenderal Polisi Indradi Thanos menyatakan nilai konsumsi putaw saja Rp 3,6 triliun per tahun. Belum lagi omzet ekstasi, sabu-sabu, ketamin, dan yaba—dua terakhir ini obat baru yang sedang ngetren di Indonesia.
Indradi Thanos boleh dibilang ujung tombak dalam ”jihad” memberantas narkotik. Kamis pekan lalu, di sebuah kafe di kawasan Jalan Sudirman, Jakarta, Direktur Narkotika dan Obat-obatan Terlarang Kepolisian Indonesia, sekaligus Koordinator Satuan Tugas di Badan Narkotika Nasional, itu berbincang dengan Nugroho Dewanto, Grace S. Gandhi, Ramidi, dan Munawwaroh dari Tempo tentang upaya dan kendala memerangi narkotik.
Apa yang membuat Indonesia menjadi sasaran jaringan narkotik internasional?
Potensi pasarnya besar. Badan Narkotika Nasional memperkirakan ada 3,2 juta orang yang kecanduan narkotik dan obat-obatan terlarang lainnya. Dari jumlah itu, 50 persen diperkirakan menggunakan heroin. Dua bulan lalu, saya ke Makassar, melihat program pencegahan HIV/AIDS. Di situ berkumpul pengguna jarum suntik dari seluruh Indonesia, sebagian terinfeksi HIV/AIDS. Masih muda-muda, ganteng, cantik, tapi sudah menderita AIDS. Apa enggak miris? Kok, yang berjuang mencegahnya polisi saja, nih.
Berapa nilai transaksi narkotik dan obat-obatan terlarang di Indonesia?
Besar. Katakanlah, dari 3,2 juta orang pengguna narkotik itu, 100 ribu orang memakai putaw, masing-masing 1 gram per hari, yang harganya Rp 1 juta per gram. Nilainya sudah Rp 100 miliar per hari hanya untuk putaw. Itu angka paling minim. Untuk ekstasi, katakanlah di klub-klub malam di Jakarta saja ada 500 ribu pengguna yang membeli ekstasi seharga Rp 100 ribu per butir. Maka nilainya sudah Rp 50 miliar per hari. Belum termasuk sabu dan ketamin, yang harganya Rp 75-100 ribu per pil atau kapsul.
Jaringan narkotik dari mana saja yang mengincar Indonesia?
Kalau ekstasi, dari Eropa. Sabu asalnya dari negara-negara Asia, terutama Cina dan Hong Kong. Ada pula sindikat dari Malaysia, Singapura, dan Indonesia sendiri.
Bagaimana dengan jaringan Afrika?
Mereka dikenal dengan West African Enterprises. Bukan cuma dari Nigeria, melainkan juga dari negeri-negeri di sekitar Afrika Barat. Jaringan mereka sudah menguasai 80 negara! Roppongi di Jepang atau tempat-tempat hiburan di Thailand sudah mereka kuasai sepenuhnya. Market-nya, security-nya, semua mereka pegang.
Mereka sudah menguasai Jakarta juga?
Enggak! Mereka memang nongkrong di tempat-tempat hiburan, minum-minum. Tapi lebih dari itu tidak, karena kami melakukan operasi Paniki (kalong dalam bahasa Manado). Sudah banyak yang dieksekusi lewat operasi ini.
Bagaimana dengan sindikat lokal?
Kami terus melakukan penangkapan. Tapi, sampai sekarang, kami hanya mampu menangkap tersangka di level bawah. Belum bisa ke level satu dan dua dari atas. Sebab, ini kejahatan terorganisasi. Bisa melibatkan orang-orang keuangan, mungkin juga pejabat yang punya otoritas terkait dengan proses keluar-masuknya barang.
Dari mana Anda memperoleh informasi tentang akan masuknya ”barang” atau ”orang”?
Kami bekerja sama dengan instansi sejenis di Cina, Hong Kong, Malaysia, Thailand, Singapura, Australia, dan Amerika. Kami, misalnya, sering mendapat informasi dari kantor Drug Enforcement Administration Amerika di Singapura. Ada pula laporan transaksi keuangan yang jumlahnya cukup besar keluar-masuk Indonesia. Kami perkirakan ini terkait dengan sindikat narkotik.
Selain lewat bandar udara, belakangan ada modus baru menyelundupkan narkotik lewat jalur laut, seperti di Pantai Indah Kapuk?
Memang, dari wilayah laut dalam atau perairan terbuka, mereka masuk langsung ke wilayah permukiman di pesisir. Kita perlu introspeksi terhadap hal-hal seperti ini. Saya sudah membuat surat kepada kepala kepolisian daerah di Jawa untuk menugasi polisi air mengawasi akses dari laut ke wilayah permukiman. Di Pantai Indah Kapuk nanti kami akan mendirikan pos pengawas sehingga petugas bisa tahu mana kapal milik penghuni dan mana yang bukan. Tentu ini perlu anggaran ekstra.
Bagaimana dengan tempat lain di luar Jawa, yang lebih terpencil?
Wilayah seperti Riau dan Batam agak susah karena banyak sekali jalur tikus. Kapal bisa masuk ke permukiman, ke pulau-pulau kecil. Untuk menangkalnya, kami akan mengembangkan community policing alias pemolisian masyarakat. Mereka diajak melaporkan jika menemukan hal-hal mencurigakan. Ini tentu tidak mudah karena masyarakat harus mencari nafkah. Tapi community policing itu konsep yang lebih tepat untuk penanggulangan.
Di bandar udara juga masih ada penyelundup yang lolos….
Kita memiliki hampir 20 airport yang dilalui penerbangan internasional. Ada kendala untuk menempatkan polisi karena yang boleh ditempatkan hanya dari Departemen Kesehatan, Bea dan Cukai, dan Imigrasi.
Bukankah ada peralatan X-ray yang bisa melacak narkotik?
Kita punya peralatan seperti itu di Cengkareng, Medan, dan Bali. Tapi alat itu sering terkendala tegangan listrik yang naik-turun. Bahkan ada alat yang rusak.
Apa modus yang biasa digunakan untuk menyelundupkan narkotik seperti heroin?
Biasanya heroin ditelan oleh kurir. Lewat cara ini, saya perkirakan dalam seminggu kita kebobolan lima sampai sepuluh kilogram.
Heroin itu nantinya diolah lagi?
Betul. Satu kilogram heroin yang kemurniannya di atas 90 persen sampai 95 persen bisa menghasilkan lima sampai delapan kilogram heroin campuran. Bahan baku murni biasanya dicampur, digerus dengan Panadol. Keuntungan mereka jadi berlipat ganda.
Mengapa mudah sekali narkotik dan obat terlarang masuk ke Indonesia?
Salah satunya karena kita belum memiliki undang-undang precursor yang mengatur bahan kimia untuk membuat obat. Padahal bahan yang sama bisa digunakan untuk membuat ekstasi dan sabu.
Siapa yang mestinya menyusun undang-undang precursor?
Badan Pengawas Obat dan Makanan serta Departemen Kesehatan.
Instansi Anda sudah berkoordinasi dengan mereka?
Saya sudah bertemu dengan Bu Menteri. Saya laporkan bahwa kita sekarang sudah kemasukan barang ini... ini…. Minta disikapi dengan cepat, sebelum menyesal karena terlambat. Ini harus dikerjakan sungguh-sungguh karena sudah ada keputusan politis kepala-kepala negara ASEAN bahwa pada 2015 kawasan ini must be safely from drugs.
Sekarang belum ada sanksi untuk pihak yang mengedarkan bahan-bahan kimia itu?
Ya, belum ada sanksi pidana. Sekarang kita juga sudah kemasukan ketamin, pil pemati rasa yang bisa digunakan untuk menenangkan kuda-kuda yang berahi. Ketamin biasa digunakan juga oleh dokter gigi. Kalau gigi mau dicabut, disuntik ketamin, jadi kebal. Ketamin marak sekali digunakan di Cina, Hong Kong, Singapura, dan sekarang mulai banyak beredar di Indonesia. Saya sudah minta bantuan jaksa untuk menghukum pengguna ketamin. Kalau mereka tidak dihukum, waduh, kita akan jadi surga bagi pemakai ketamin.
Ketamin sekarang menggantikan ekstasi?
Satu pil atau kapsul ketamin dijual Rp 75 ribu sampai Rp 100 ribu. Di Medan itu diminum bersama Coca-Cola. Bayangkan! Ekstasi kini susah dicari. Yang beredar sekarang kebanyakan abal-abal (palsu, banyak campurannya), bahkan dicampur ramuan yang tidak steril. Digunakan sekali atau dua kali tidak apa-apa, tapi lama-lama saraf di kepala terjepit. Pusat otak bisa rusak. Kemudian ginjal rusak. Ekstasi yang beredar sekarang ini racun. Begitu juga putaw, karena pencampurannya sembarangan, main gerus saja.
Apa lagi jenis narkotik baru selain ketamin?
Yang baru masuk namanya yaba. Obat ini seperti ekstasi, campurannya mirip, tapi harganya 50 persen lebih murah. Sangat terkenal di Thailand. Produksinya di perbatasan Laos, Myanmar, dan Thailand.
Bagaimana dengan peredaran narkotik di lembaga pemasyarakatan?
Capek ngomong masalah ini! Setelah melihat langsung ke lembaga pemasyarakatan, saya sadari sipir atau petugasnya sedikit, sehingga pengawasan terhadap pengunjung relatif tidak ketat. Tapi sekarang Badan Narkotika Nasional membentuk satuan tugas lembaga pemasyarakatan yang personelnya cukup bagus.
Kok, penggunaan telepon seluler begitu bebas di dalam penjara?
Wah, itu memang jadi barang dagangan di dalam. Sipir-sipir yang gajinya kecil, dari mana mereka mendapat uang? Mungkin dari hal-hal seperti itu (menyewakan telepon seluler). Seharusnya kita memiliki lembaga pemasyarakatan khusus untuk tahanan kasus narkotik seperti di Cipinang. Di Cilacap juga sudah ada superblok yang isinya khusus tahanan narkotik. Mereka tidak bisa lagi menggunakan telepon atau dibesuk terlalu lama.
Peredaran narkotik kini juga sudah merambah sekolah….
Saya sudah berbicara dengan para guru, mencari apakah ada peredaran narkotik di tingkat sekolah dasar atau sekolah menengah pertama. Hasilnya, di sekolah dasar tidak ada, tapi memang ada yang ditawari permen atau apalah. Sedangkan pelajar sekolah menengah pertama memang ada yang terlibat narkotik, apakah menggunakan jarum suntik, sabu, atau ineks (ekstasi). Di sekolah menengah atas relatif lebih banyak lagi pemakai narkotik.
Bagaimana upaya pencegahan narkotik di sekolah?
Pihak sekolah ambil langkah-langkah, dong, melalui Organisasi Siswa Intra Sekolah dan para guru. Begitu melihat ada murid yang dicurigai, langsung lapor ke polisi, atau adakan tes urine. Repot kalau lingkungannya sendiri tidak ikut menjaga. Kalau polisi saja yang terus bekerja, mau sampai kapan?
Ngomong-ngomong, sudah lama tak ada penangkapan bandar narkotik kelas kakap….
Kami sedang mengumpulkan informasi. Tapi tolong jangan diberitakan dulu. (Indradi menceritakan garis besar rencana penangkapan yang sedang dikerjakannya secara off the record.)
Penangkapan besar menjelang pemilihan umum akan menyenangkan bos?
Kami bekerja saja. Tidak ada urusan dengan pemilihan umum.
Brigadir Jenderal Polisi Indradi Thanos
Tempat dan Tanggal Lahir: Jakarta, 14 November 1953
Pendidikan:
- Akademi Angkatan Bersenjata Republik Indonesia Bagian Kepolisian, 1976
- Traffic Management Course, Inggris, 1989
- Counter Disaster Management Course, Inggris, 1993
- Management of Serious Crime, Australia, 1997
- The Training of SMES Manager, Korea Selatan, 2001
- Axion Undercover Training Observer, Australia, 2002
- INEM’S Drug Enforcement Administration, Amerika, 2004
Karier
- Kepala Polisi Surabaya Selatan, 1994-1996
- Kepala Subdirektorat Psikotropika Direktorat Reserse Pidana Narkoba Komando Reserse Polisi, 2001-2003
- Wakil Direktur IV Narkoba dan Kejahatan Terorganisasi Badan Reserse Kriminal Kepolisian RI, Juli 2005
- Direktur IV Narkoba dan Kejahatan Terorganisasi Badan Reserse Kriminal Kepolisian RI, Desember 2005-sekarang
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo