Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Setelah dihelat secara daring dalam dua tahun terakhir, kini Jakarta Fashion Week (JFW) 2023 akan kembali digelar secara luring pada pekan depan. Chairwoman Jakarta Fashion Week, Svida Alisjahbana, menyatakan persiapan pergelaran pameran busana paling kondang di Indonesia itu hampir rampung.
Svida mengatakan JFW 2023 akan digelar di lokasi baru pada 24-30 Oktober mendatang. "Sebelumnya selalu (dilangsungkan) di Senayan. Tahun ini kami gelar di Pondok Indah Mall," kata perempuan berusia 57 tahun itu ketika ditemui tim Tempo, di kantornya, di kawasan Menteng, Jakarta Pusat, Senin lalu.
Adapun tema JFW 2023 adalah Fashion Reformation (Reformasi Fashion), yang menyiratkan semangat regenerasi di industri mode Tanah Air. Tema tersebut sekaligus menjadi bentuk perayaan kreativitas dan kebangkitan para insan mode setelah melalui masa pandemi.
Namun Svida enggan berkomentar tentang rancangan seperti apa yang akan dibawa sejumlah perancang busana dalam agenda JFW 2023. "Saya hanya penyedia platform. Sedangkan desain apa yang akan dibawakan, itu terserah desainernya. Kami tidak akan mengintervensi mereka," tutur perempuan berambut pendek ini.
Svida akan menggabungkan dua konsep pergelaran pekan mode, yakni daring dan luring, dalam JFW 2023. Menurut bos perusahaan media GCM Group itu—sebelumnya Femina Group dan Prana Group—pandemi Covid-19 membawa sisi positif dalam penyelenggaraan JFW.
Pergelaran secara daring membuat penyiaran dan popularitas JFW dua edisi terakhir terdongkrak di media sosial. Penayangan secara daring seakan-akan merobohkan dinding eksklusivitas pekan mode. Walhasil, masyarakat dari berbagai penjuru Indonesia bisa lebih mudah menonton JFW lewat layar gawai mereka.
Karena itu pula, Svida lebih serius menggarap penayangan daring JFW tahun ini. Harapannya, bukan sekadar popularitas, tapi penjualan produk busana Jakarta Fashion Week juga ikut terkerek. Selain bertutur tentang JFW, Svida bercerita tentang kegemarannya mengoleksi buku resep makanan hingga misi besarnya mengekplorasi bahan pewarna alami. Berikut ini wawancara Tempo dengan Svida.
Svida Alisjahbana. TEMPO/ Febri Angga Palguna
Bagaimana konsep Anda memadukan penyelenggaraan JFW luring dan daring tahun ini?
JFW luring terakhir diadakan pada 2019. Pada Maret 2020, Presiden Joko Widodo mengumumkan pasien pertama Covid-19. Saya sempat berpikir, di Guangzhou, dalam tiga bulan sudah normal dan kita juga akan segera normal. Ternyata tidak. Belum lagi ada hantaman varian Delta. Saya bingung, apa yang harus kami lakukan. Oke, kami banting setir JFW daring pada Juli 2020. Yang penting JFW harus tetap ada.
Lalu muncul pertanyaan di mana dan bagaimana konsepnya. Saya enggak mau, mentang-mentang daring, JFW akan dibikin lebih mirip video show. Sebab, ini pakaian yang diutamakan, bukan videonya. Pada masa pandemi awal itu lebih mengutamakan video yang keren dengan gambar berputar-putar begitu. Itu bukan yang saya inginkan karena utamanya adalah fashion atau bajunya.
Lalu selanjutnya apa yang terjadi?
Kami belajar banyak hal. Karena itulah pertama kalinya kami bikin JFW daring. Jadi, kami bikin JFW.TV untuk penyiaran. Saat itu kami juga bikin di YouTube. Kedua, di transaksi, “lihat sekarang beli sekarang”. Sebab, penontonnya di rumah saja. Tapi saya kaget ada satu desainer yang (melakukan) transaksi “lihat sekarang beli sekarang” itu (nilainya) di atas Rp 1 miliar. Kami kaget, ternyata daring itu serius sekali. Kami saat itu menggandeng e-commerce Lazada. Kebayang, kan, 0-15 menit show itu penontonnya 0-60 ribu daring. Satu tenda saja cuma cukup 600 orang. Lazada juga lempar kupon diskon agar orang belanja terus.
Kami bikin video fashion week jauh-jauh hari sebelum penayangan. Jadi, kami punya waktu satu setengah bulan untuk bikin video sebaik mungkin. Lalu diedit segala macam sehingga bisa menghasilkan ribuan interaksi di Instagram dan media sosial lainnya, seperti TikTok, berbekal 16 video dalam 15 menit. Singkatnya, semua berjalan lancar dengan 3-6 juta penonton video. Interaksi bisa ratusan juta. Karena bukan pertunjukan langsung, kami bisa mengatur tempo hingga tepat waktu. Tahu sendiri kalau fashion show yang langsung itu bisa molor panjang. Bahkan biasanya penampilan terakhir itu bisa terlambat sampai satu setengah jam. Jadi, kami enggak ingin itu terjadi.
Lalu bagaimana menyiasati molornya waktu JFW 2023 secara luring nanti?
Agar bisa tepat waktu, solusinya kami kurangi jumlah show-nya. Kami jadikan lima kali sehari. Padahal biasanya bisa tujuh kali sehari. Harapannya, pertunjukan bisa berjalan tepat waktu sehingga yang daring pun tak perlu menunggu lama.
Bagaimana rencana penayangan JFW luring dan daring nantinya?
Jadinya kami akan ada tim live streaming, akan ada rumah produksi yang memang mengambil gambar dengan empat kamera, dan itu langsung disiarkan ke semua platform. Kami urus live yang platform horizontal langsung masuk ke semuanya. Lalu live yang platform vertikal untuk TikTok dan segala macam itu perlu diedit. Kemudian rumah produksi akan mengedit video 30 menit itu menjadi 10-15 menit supaya setiap desainer ada, tapi enggak kepanjangan, dan itu akan menjadi koleksi JFW. Jadi, ini memang inklusif karena kami melihat betapa pentingnya penonton dari seluruh Indonesia. Intinya, kami meregenerasi seluruh tim kerja kami. Sutradara konten kami baru berusia 30 tahun. Lalu tim seninya masih 20-22 tahun. Karena mereka yang melek digital.
Apa lagi yang baru dalam pergelaran JFW tahun ini?
Terbaru, kami akan bikin hospitality lounge yang selama ini belum pernah kami buat. Isinya, kami ingin mengundang reseller dan jastip (jasa titip) untuk datang dan berbicara dengan para desainer. Reseller dan jastip ini menjadi fenomena baru seiring dengan berjalannya media sosial.
Lainnya?
Lalu akan ada Pia Alisjahbana Award yang diberikan setiap lima tahun. Kami berikan penghargaan bagi orang yang mampu mengubah lanskap fashion. Kenapa begitu, karena kami melihat Ibu Pia adalah game changer dalam dunia fashion. Pertama, dia adalah jurnalis fashion pertama di Indonesia yang setiap tahun hadir di London, Paris, dan New York Fashion Week. Dia juga mengadakan lomba perancang mode sampai sekarang. Lomba ini terbuka untuk desainer masa depan yang kinclong. Jadi, kami setiap lima tahun memilih pengubah peta industri fashion. Misalnya, dulu, ketika tenun Sumba belum dilirik orang, Oscar Lawalata sudah mengeksplorasi.
Model memperagakan busana karya perancang busana, Patrick Owen, dalam Jakarta Fashion Week 2017 di Senayan City, Jakarta, 2016. TEMPO/Nita Dian
Mengapa JFW 2023 pindah lokasi ke mal?
Alasan kami pindah dari Senayan ke Pondok Indah Mall itu adalah ruangannya. Yang ditawarkan Pondok Indah Mall itu sangat luas. Pertama, atrium untuk pertunjukan. Kedua, lantai satu kami taruh sebagai Dewi Look Market. Jadi, intinya, mereka tawari kami ruangan berukuran 1.400 meter persegi untuk shopping experience. Kebayang, kan, kami akan punya fashion show, ada shopping experience, dan ada online experience. Pertunjukannya daring dan luring, lalu penjualan langsung, lalu retail experience.
Apakah pandemi Covid-19 mempengaruhi dunia fashion?
Jelas. Lihat saya. Saya menerima wawancara masih pakai celana olahraga, ha-ha-ha…. Jadi, saat ini lebih kasual. Ini perkembangan dari pandemi, muncullah loungewear. Ya sudah, kita bisa pakai piyama yang lebih keren, tinggal dikasih selendang juga bisa tampil di Zoom. Jadi, rahasia umum juga kok orang-orang pakai celana olahraga, atasnya kemeja putih. Sekarang kita dalam masa transisi. Pasti akan ada tren baru lagi. Mungkin lebih ke kasual.
Tren fashion terus berkembang ya...
Pada pandemi flu Spanyol 1919, tren fashion masih tetap jalan. Sebab, kebutuhan sandang dan pangan itu duluan mana? Sandang, kan. Kita setiap hari itu kan pakai baju. Selama ini situasi yang ada akan menentukan tren fashion. Akhirnya loungewear (pakaian santai yang biasa dipakai di rumah) itu yang terjadi pada 2020 dan 2021.
JFW sudah ada sejak 18 tahun lalu. Bagaimana kisah awal JFW?
Femina selalu memberangkatkan satu grup wartawan ke pergelaran fashion week dunia ketika zaman jaya-jayanya majalah. Mereka dikirim ke Milan, Paris, dan London. Sekarang sudah enggak perlu lagi karena untuk foto sudah tersedia di media internasional. Lalu, apa yang kita lihat itu, fashion diangkat media untuk menjadi tren busana. Media menjadi penyiar tren.
Di Indonesia, sebelum JFW, apakah ada fashion week atau fashion show yang memperlakukan media sebagai orang terpenting? Di JFW, media kami perlakukan istimewa. Kami persilakan (mereka) masuk lebih dulu, baru tamu penting. Kami terbuka pada media, tidak memilih eksklusif dengan media tertentu. Kalau ada stasiun televisi yang ingin menjadi media partner dengan syarat eksklusif, kami tolak, karena tujuan kami untuk menyebarkan (JFW) seluas mungkin. Karena ini pesta fashion. Kami mengajak sebanyak mungkin media. Kita kerja untuk industri fashion Indonesia.
Lalu?
Masuklah JFW. Para desainer busana Indonesia (kala itu) menganggap inilah titik klimaks dari karya dia. Mereka bikin baju yang tidak bisa dipakai. Jadi, bukan baju sehari-hari. Mereka tidak siap untuk menyiapkan koleksi baju yang bisa dipakai (kapan saja). Jadi, koleksi mereka enggak dinamis. Ini yang harus dibenahi agar bisa meluncur ke internasional. Perancang busana kita harus tahu bagaimana menyiapkan katalog dan baju yang siap pakai. Kalau ada katalog, pembeli akan lebih mudah memilih.
Bagaimana harapan Anda tentang JFW?
Kami memang punya keinginan JFW menjadi yang terdepan, setidaknya di Asia Tenggara. Faktanya, beberapa wartawan fashion luar negeri yang saya kenal pun bilang bahwa di JFW itu standar tinggi fashion week. Mungkin awalnya, saat kami undang itu, mereka meremehkan. Jadi, perlu enggak pergi ke Paris Fashion Week? Enggak. Lebih penting pemerintah punya duit datangkan wartawan fashion luar negeri. Karena mereka bisa melihat pesta di JFW.
Model memperagakan busana karya perancang busana, Patrick Owen, dalam Jakarta Fashion Week 2017 di Senayan City, Jakarta, 2016. TEMPO/Nita Dian
Bagaimana pandangan Anda tentang modest fashion (pakaian yang tertutup) di Indonesia, yang sejauh ini dikaitkan dengan busana muslim?
Saya pikir modest fashion berevolusi. Saya ingat, ketika JFW mengangkat modest fashion itu, mencari identitas fashion-nya dengan menaruh bros besar di kepala, lalu baju berlapis-lapis segala macam. Bahkan, ketika ditanya kiblat fashion modest itu, masih dijawab musim gugur dan salju di Barat. Tapi, sebetulnya, kita temukan identitas modest fashion sendiri. Sebab, pada dasarnya, kita ingin memakai baju yang nyaman. Muslim Indonesia itu berbeda dengan muslim di Arab. Negara kita juga cenderung progresif jika berurusan dengan perempuan yang bekerja. Perempuan dan pria bisa bekerja dengan jam kerja sama. Artinya, muslimah butuh pakaian yang nyaman dipakai dan enggak rumit dengan hiasan. Lihat, desainer sekarang pun sederhana.
Timur Tengah, yang pakaiannya tertutup, tidak bisa dijadikan sebagai pangsa pasar kita. Sebab, di sana pola hidupnya beda; pria tidak bekerja dalam satu tempat yang sama dengan perempuan. Jadi, ketika perempuan pakai abaya di tempat umum, begitu bertemu dengan komunitas perempuan saja mereka sudah tidak pakai abaya lagi. Mereka akan tak acuh dengan memakai baju lebih terbuka. Berbeda dengan kita yang perempuannya bekerja dengan lingkungan campuran.
Lalu bagaimana saran Anda agar Indonesia menjadi pemain dunia modest fashion?
Kalau mau menjadi pemain dunia, kita harus lihat pasar mana yang populasi muslimnya hampir sama dengan kita. Misalnya Turki, enggak bisa semudah itu, karena Turki dan Indonesia bersaing dalam dunia tekstil. Kalau kita masuk, ya sama saja buang duit karena Turki sendiri juga jago. Lalu seluruh dunia juga ingin masuk ke Indonesia karena kita tetap menjadi pasar terbesar dunia. Jadi, yang penting sekarang ini adalah selamatkan pasar dalam negeri dulu, deh. Caranya, ajak masyarakat mencintai modest fashion dalam negeri. Kedua, kita pikirkan ekspor, seperti ke Afrika dan Eropa.
Mampukah Indonesia menjadi kiblat modest fashion dunia?
Bisa, tapi bukan Timur Tengah, ya, melainkan kiblat modest fashion untuk negara Islam yang progresif. Kalau akhirnya negara-negara Arab memperbolehkan pria dan wanita bekerja dalam satu lingkungan, pasti mereka akan menoleh ke kita. Dan sebetulnya, kalau berdagang modest fashion di Eropa, kita tahu.
Selain fashion week, ada proyek yang sedang Anda kerjakan?
Sebenarnya, ada sesuatu yang sedang saya lakukan dengan banyak teman. Kami ingin bikin sebuah yayasan untuk mengembangkan ragam pewarna alami kain Indonesia yang sangat kaya. Dari barat sampai timur itu, kita punya kain yang kaya sekali. Jadi, saya melihatnya bersama Ibu Anne Patricia Sutanto (Vice Chief Executive Officer Pan Brothers). Misalnya kain Sumba itu pewarna alaminya banyak sekali. Dan pemakaiannya itu semena-mena, sesuka hati saja. Apa yang ada di kebun itu dijadikan pewarna. Akhirnya di setiap desa itu punya warna yang berbeda-beda. Misalnya ada satu desa yang punya warna merah kinclong, lalu ada lagi abu-abu ke merah tua. Bahkan lumpur juga bisa jadi pewarna.
Kita di Jawa juga punya pewarna alami batik. Sementara itu, di wilayah timur itu apa saja tanaman yang ada di kebun akan direbus, diperas, dan lain-lain. Itu semua tidak ada takaran tertulisnya. Begitupun di Jawa, tidak ada takaran tertulis. Kami sedang dorong mencari pendanaan untuk meriset bahan pewarna alami di seluruh Indonesia. Di beberapa wilayah, seperti di Bali dan Solo, sudah ada risetnya. Tapi kami ingin bikin skala seluruh Indonesia. Dan data ini akan tersedia untuk siapa saja.
Lalu apa tujuan besar Anda?
Tujuan kami, mari dibikin kebunnya. Mari bikin tanamannya secara intensif. Ini kan yang diambil kulitnya. Jadi, lebih ramah lingkungan, bukan sekadar bikin buku. Tujuannya, mari kita dari Indonesia buat pewarna alami untuk taraf industri. Ibu Anne kan (pemilik) garmen terbesar di Indonesia. Jadi, saya tinggal pinjam laboratoriumnya untuk mengukur berbagai macam bahan pewarna alami, seperti berapa ukuran warnanya, lalu tingkat kelunturan seperti apa. Jadi, kami akan bikin pendataannya. Lalu bagaimana kita bikin warna ini stabil, enggak mudah belel. Perlu perkembangan kimia.
Keuntungannya bagi semua pegiat kain di Indonesia bisa mendapatkan pewarna alami tanpa mereka petik cari sendiri dan bikin sendiri. Beda musim, hasil warnanya akan beda. Tapi mungkin banyak yang enggak mau karena mereka tetap bisa bikin sendiri berbekal tanaman di kebun mereka sendiri yang gratis. Tapi siapa yang tahu akan ada warna dari mengkudu dan kunyit? Jadi, kami ingin bisa menyaingi Turki yang punya pewarna alami. Pangsa pasar pewarna alami pun tinggi. Kalau bisa mendapat itu kan akan jadi pewarna organik. Semua yang berbau organik dalam pakaian itu bernilai tinggi.
Ada proyek lain?
Kami juga sedang lakukan bersama perusahaan garmen Ibu Anne, mengolah kain sisa. Kami cacah kain sisa pabrik garmen, lalu kami bikin jadi kain baru. Enggak sekadar kain lap. Saat ini sedang berjalan. Hasilnya nanti dijual. Sekarang sedang berkolaborasi dengan penenun UKM. Lalu pangsa pasar ekspor. Karena, di Indonesia, siapa yang mau bayar kain bekas atau kain lap? Enaknya sisa pabrik kan bisa satu warna. Misalnya merah ya merah semua. Berbeda dengan pengumpulan baju bekas.
Anda juga punya hobi mengoleksi buku masakan?
Saya punya banyak koleksi buku masakan, sampai satu lemari. Tapi saya enggak punya waktu untuk memasak. Jadi, baca saja, ha-ha-ha…. Lalu biasanya saya terjemahkan resep itu dari bahasa Inggris ke bahasa Indonesia. Tinggal minta asisten rumah tangga bereksperimen. Saya koleksi buku masakan dari berbagai negara. Menariknya, saya suka koleksi masakan Australia karena saya lihat di sana benar-benar jadi titik temu disiplin masakan Barat dan Timur. Faktanya, banyak imigran dari Thailand dan Vietnam di Australia. Kuliner Thailand dan Vietnam itu punya kuah-kuah yang asam lalu bercampur dengan kuliner Australia, berbuah menjadi kuah yang halus rasanya. Jadi, saya suka itu. Lalu lebih banyak teknik gastronomi.
Anda juga punya hobi olahraga lari. Bagaimana ceritanya?
Olahraga itu sangat penting bagi saya. Tanpa olahraga, mood saya jelek. Saya sedang persiapan untuk Tokyo Marathon pada Maret tahun depan. Jadi, saya harus persiapkan stamina. Lalu pilates juga dan lari. Untuk lari, saat weekend saya lakukan sendiri. Tapi, kalau weekdays, ada pelatih yang menemani. Larinya 5 kali seminggu, stamina 2 kali seminggu, pilates juga 2 kali seminggu. Yoga bisa beberapa kali, tergantung capek atau enggak. Olahraga itu tentang membersihkan pikiran. Saat lari itu saya sering berhenti untuk mengeluarkan telepon pintar. Entah karena mendapat ide baru, kasih arahan baru ke staf, atau lainnya. Ini karena pikiran jadi lebih bersih.
Svida Alisjahbana. TEMPO/ Febri Angga Palguna
Profil
Nama: Svida Alisjahbana
Lahir: Jakarta, 23 Desember 1964
Pendidikan:
-Magister Administrasi Bisnis, Columbia University
-Sarjana Matematika dan Ekonomi, University of Michigan
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo