Penduduk Kaledonia Baru tampaknya lebih memilih menolak kemerdekaan dalam referendum bersejarah yang digelar hari Minggu (4/11/2018).
Hasil awal menunjukkan lebih dari 60 persen pemilih memberikan suara untuk tetap berada di bawah Prancis.
Dalam pidato TV, Presiden Prancis Emmanuel Macron mengatakan mayoritas pemilih memilih tetap menjadi bagian dari Prancis dan "tak ada jalan lain selain dialog" tentang masa depan Kaledonia Baru.
Para pemimpin pro-kemerdekaan masih berharap dapat memenangkan referendum yang akan berlangsung lagi pada tahun 2020 dan 2022.
Namun para politisi pendukung Prancis berpendapat tak perlu lagi adanya voting setelah referendum kali ini.
Referendum telah mengekspos perbedaan sosial dan ekonomi di Kaledonia Baru. Perbedaan etnis jelas tampak di ibukota Noumea pada Senin (5/11/2018).
Suasana di bilik suara sendiri tampak tenang, dengan antrean panjang dan teratur di TPS-TPS.
Mereka akan memilih YA atau TIDAK untuk pertanyaan: "Apakah Anda menginginkan Kaledonia Baru berdaulat penuh dan merdeka?"
Pendukung kemerdekaan umumnya berasal dari kalangan penduduk asli Kanak. Mereka merasa memiliki hak menentukan nasib sendiri, terbebas dari Prancis.
Sebaliknya, penduduk Kaledonia Baru dengan latar belakang Eropa lebih memilih tetap bergabung dengan Prancis.
Para pemilih di basis etnis Kanak di Noumea menyuarakan dukungan kuat untuk kemerdekaan.
Salah satunya, Kevin, mengaku memiliki YA di sebuah TPS di pinggiran Noumea.
"Saat memasukkan surat suara ke kotak, saya hampir menangis karena memikirkan para ayah dan ibu yang berjuang keras untuk ini," katanya kepada ABC.
"Saya percaya pada penduduk kami, untuk kekayaan yang ada di sini. Budaya kami kaya, penuh warna. Saya rasa kami siap," ujarnya.
Tapi para pemilih di wilayah ibukota yang kaya, Ouema, tampaknya menentang kemerdekaan.
Salah satunya, Fred, mengatakan takut jika Kaledonia Baru akan kacau jika merdeka.
"Dengan mengetahui apa yang terjadi di negara Pasifik Selatan lainnya, tak ada yang memiliki kebebasan nyata. Berapa banyak kudeta yang terjadi di Fiji?" katanya.
Dia menyuarakan kecemasan banyak komunitas etnis lainnya di Kaledonia Baru. Yaitu bahwa wilayah ini akan rentan jika kehilangan subsidi dan perlindungan militer dari Prancis.
"Kami tidak bisa mandiri. Kami berada di bawah payung Prancis," katanya.
"Ada alasan ekonomi yang jelas. Prancis mensubsidi Kaledonia Baru sepertiga dari anggarannya," tambahnya.
Referendum ini diprediksi akan dimenangkan oleh kelompok TIDAK, dengan suara sekitar 60 persen.
Namun para pemimpin pro-kemerdekaan tak mau menyerah begitu saja. Mereka bekerja keras mendorong anak muda dan kaum apolitis dari etnis Kanak untuk ikut memilih.
Jika kubu YA yang menang, maka hal itu akan jadi pukulan besar bagi Prancis.
Pemerintah Australia mempertahankan netralitasnya meski ada kegelisahan di Canberra mengenai prospek kemerdekaan Kaledonia Baru.
Beberapa politisi Australia khawatir Prancis akan menarik diri dari Pasifik jika kehilangan Kaledonia Baru.
Perdana Menteri Prancis Edouard Philippe akan tiba di Kaledonia Baru hari Senin untuk berbicara dengan para pemimpin kedua kubu.
Di bawah Perjanjian Noumea 1998, Perancis setuju menggelar tiga kali referendum bagi Kaledonia Baru, yaitu tahun 2018, 2020 dan 2022.
Para politisi anti-kemerdekaan semakin yakin dengan kemenangan mereka. Kini mereka memperdebatkan tidak ada perlunya referendum lanjutan jika kubu mereka menang besar kali ini.
Diterbitkan oleh Farid M. Ibrahim dari artikel ABC Australia.