Biji kopi asal Indonesia sudah dijual dan dihidangkan menjadi secangkir espresso atau cappucino di banyak negara, termasuk di kota Melbourne yang terkenal akan budaya 'ngopi'-nya.
Australia sudah diakui dunia sebagai salah satu negara terbaik dalam menyajikan kopi, meski masih mengandalkan negara-negara penghasil kopi untuk menggerakan industri kopi mereka.
Indonesia menjadi salah satu pengekspor kopi terbesar ke Australia dari kawasan Asia Pasifik, menempati urutan ke-3 setelah Vietnam dan India.
Kopi asli Indonesia telah diolah dan dijual di beberapa kafe di Melbourne, seperti di kedai kopi 'The Little Man Cafe' yang sudah berdiri tujuh tahun.
Christina Morgan, pemilik 'The Little Man Cafe' mengaku telah menyajikan seratus persen kopi dari Indonesia dalam dua tahun terakhir.
"Saya suka sekali sama kopi Indonesia. Menurut saya kopi Indonesia itu memiliki potensi yang tinggi," kata Christina yang berasal dari Medan.
Kepada pelanggannya yang kebanyakan warga lokal Australia, Christina menyajikan kopi 'specialty grade arabica' yang bijinya ia impor dari Indonesia.
Menurutnya, untuk menyajikan secangkir kopi yang nikmat diperlukan keterampilan dari tiga komponen: yaitu petani, 'roasting' atau memanggang, dan barista.
"Jadi bergantung dari [produk kopi seperti] apa yang petani berikan kepada kita, dan setelah itu ada 'roasters', bagaimana kita memanggang kopi tersebut dan rasa apa yang muncul dari kopi petani ini, dan akhirnya barista," kata Christina.
Menurutnya ukuran butir kopi yang benar, ditambah suhu air yang tepat, dan jumlah yang dimasukkan ke mesin kopi juga benar akan membuat citra rasa kopi yang sempurna.
Impor kopi dari Indonesia meningkat
Departemen Luar Negeri Australia mengatakan lima negara pengeskpor kopi terbanyak ke Australia di tahun 2020 antara lain adalah Swiss, Brazil, Kolumbia, Jerman, dan Vietnam.
Sementara itu, Indonesia menempati posisi ke-12, setelah India di urutan ke-10 dan Prancis di urutan ke-11.
Jumlah Impor Kopi Australia dari Indonesia
- Di tahun 2019, dari total AUD$643,664,000 (Rp6,42 triliun) Australia mengimpor kopi dari Indonesia senilai AUD$15,283,000 (Rp152 milyar)
- Nilai impor tersebut meningkat tipis dibandingkan tahun 2018, yakni sebesar AUD$15,162,000 (Rp151 milyar)
Namun, menurut Hendra Tanuli, pemilik perusahaan eksportir dan importir kopi Indonesia 'Opal Coffee', jumlah kopi dari Indonesia di Australia sudah mulai meningkat.
Alasan kopi Indonesia mahal, menurut Hendra, karena biaya produksi yang tinggi akibat hasil panen yang rendah.
Hendra mengatakan hingga saat ini, 'Opal Coffee' hanya mengeskpor kopi arabika, yaitu jenis kopi yang paling banyak dikonsumsi di dunia.
Produksi kopi di Indonesia sebenarnya didominasi oleh jenis robusta, yaitu sebesar 72,84 persen di tahun 2019.
Tapi Opal Coffee lebih memilih untuk mengekspor kopi arabika ke Australia, termasuk memasok kopi ke 'The Little Man Cafe' di Melbourne.
Menurut Hendra sudah ada pergeseran minat konsumsi kopi robusta, yang kebanyakan diolah menjadi kopi instan, ke arah kopi arabika yang digunakan untuk membuat kopi yang 'fresh'.
Belum lagi ada faktor usia konsumen, diminta penikmat kopi robusta instan kini sudah menua, tambahnya.
'Harga kopi arabika lebih tinggi'
Pembicaraan tentang kopi arabika di Indonesia tidak terlepas dari kopi gayo, salah satu varietas yang merupakan komoditi unggulan nasional asal dataran tinggi Gayo di Aceh Tengah.
Kepada Natasya Salim dari ABC News, seorang petani kopi paruh waktu di perkebunan di Gayo mengatakan sebelumnya mereka pernah menanam jenis kopi robusta tapi kini beralih ke arabika.
Nilai jual tinggi ini mencerminkan ada usaha yang lebih banyak dilakukan petani untuk memproduksi kopi arabika dari tanaman yang harus dirawat secara teratur.
Di lahan perkebunannya yang tidak mencapai satu hektar, Sri mengatakan dapat menghasilkan Rp5-6 juta sekali panen.
Menurut Sri, pendapatan tersebut seharusnya jauh lebih tinggi. Tapi karena ia baru pindah ke Banda Aceh, perkebunannya kini dikelola keluarganya dan hasil panennya tidak sempat diolah.
"Kalau diolah menjadi bubuk kopi, hasilnya lumayan, bisa dijual sampai Rp300 ribu per kilo. Tapi kalau gelondong, 10 liter hanya dapat uang Rp10 ribu," kata Sri.
Pengaruh perubahan cuaca di perkebunan kopi
Sri yang juga pengacara menghabiskan hampir seluruh hidupnya di lingkungan perkebunan kopi di Gayo milik keluarganya, yang berumur 40 tahun.
"Keluarga besar saya di Gayo dan semuanya adalah petani kopi," kata Sri yang juga seorang aktivis lingkungan.
Penelitian dari 'The Climate Institute' di tahun 2015 menemukan kondisi kesehatan lahan perkebunan kopi di seluruh dunia menurun pesat akibat perubahan iklim dan berdampak pada petani kopi.
Sri yang sudah tidak asing dengan kelangsungan hidup petani dan perkebunan kopi Gayo mengatakan penemuan ini benar adanya.
"Iya, udara semakin panas. Kami beruntung saja karena lokasi rumah saya di ketinggian 1.300 meter di atas permukaan laut dan sejak 10-12 tahun lalu sudah melakukan konservasi," kata dia.
Sri sudah menanam beberapa pohon seperti sengon, alpukat, dan lamturo di perkebunan kopi miliknya, sehingga ia mengaku tak terpengaruh pada perubahan iklim.
Sayangnya tidak semua petani kopi memiliki kesadaran atau pengetahuan yang sama, sehingga harus menanggung risikonya.
"Di tempat-tempat lain yang memang sudah panas dan tidak terlindung, dan menggunakan bahan kimia, hamanya banyak."
Kondisi lingkungan ini menimbulkan kerugian bagi para petani kopi yang hasil panen kopinya menjadi busuk.
Ancaman bagi kesejahteraan petani kopi
Jarrod Kath, peneliti dari University of South Queensland, Australia, mengatakan perubahan iklim juga telah mengancam kesejahteraan petani kopi di Indonesia.
Hal ini ditemukannya ketika sedang meneliti dampak perubahan iklim terhadap kopi di sejumlah negara di Asia Tenggara, termasuk Indonesia.
"Produksi kopi yang turun akibat perubahan iklim yang ekstrim akan membawa dampak ekonomi besar bagi petani di tingkat lokal," kata Jarrod kepada Natasya Salim dari ABC Indonesia.
Namun, menurut Jarrod, perubahan iklim hanyalah satu dari sekian masalah lain yang harus dihadapi petani kopi.
"Ada hal lain seperti fluktuasi harga kopi, hama, dan penyakit yang juga adalah masalah penting bagi petani,"ujar Jarrod kepada Natasya Salim dari ABC News.
Masalah kesehatan petani yang disebutkan oleh Jarrod juga diakui Sri.
"Kendala utamanya itu di kondisi alam. Perbukitan kami tinggi-tinggi … sehingga sering terjadi kecelakaan di kebun," kata dia.
"Belum lagi kalau menggunakan bahan kimia dan tidak memakai alat pelindung keselamatan, bisa [terserang] stroke tiba-tiba."
Sri berharap ada lebih banyak kesempatan untuk mendidik para petani kopi demi kesejahteraan mereka.
"Kesadaran-kesadaran itu yang sebenarnya ingin sekali saya bagikan, tapi saya hanya mampu skala kecil, yaitu orang-orang terdekat saya. Untuk lebih jauh, seharusnya pemerintah."
Simak berita lainnya di ABC Indonesia.