Lupa Kata Sandi? Klik di Sini

atau Masuk melalui

Belum Memiliki Akun Daftar di Sini


atau Daftar melalui

Sudah Memiliki Akun Masuk di Sini

Konfirmasi Email

Kami telah mengirimkan link aktivasi melalui email ke rudihamdani@gmail.com.

Klik link aktivasi dan dapatkan akses membaca 2 artikel gratis non Laput di koran dan Majalah Tempo

Jika Anda tidak menerima email,
Kirimkan Lagi Sekarang

Logo ABC

Alasan Mengapa Warga China Menggunakan Kertas Putih Saat Berunjuk Rasa

Reporter

Editor

ABC

image-gnews
Iklan
Para pengunjuk rasa di China memakai cara kreatif untuk menghindari hukuman. (Reuter: Josh Horwitz)

Diantara warga China yang berunjuk rasa turun ke jalan ada yang membawa kertas polos berwarna putih atau bertuliskan persamaan matematika, seperti yang menyebar di jejaring sosial.

Persamaan matematika Friedmann digunakan sebagai bentuk ekspresi warga atas ketidakpuasan mereka terhadap kebijakan ketat terkait COVID-19 yang diterapkan pemerintah China.

Baca Juga:

"Mahasiswa dari sekolah elit Tsinghua University melakukan unjuk rasa menggunakan persamaan matematika Friedman," seperti yang diunggah aktivis pro-demokrasi Hong Kong, Nathan Law di akun Twitter-nya.

"Pengucapannya mirip dengan "manusia bebas", sebuah cara yang spektakuler dan kreatif untuk berekspresi dengan kecerdasan," jelasnya.

Penggunaan persamaan matematika tersebut berisi permintaan agar China membuka diri.

Baca Juga:

Menggunakan persamaan matematikan juga menjadi salah satu cara pengunjuk rasa di China untuk menghindari sensor yang dilakukan pemeritah China.

Ada pula pengunjuk rasa lain yang memegang kertas putih kosong saat berunjuk rasa, yang jadi aksi demo terbesar sejak tahun 1989.

Mengapa warga China berunjuk rasa?

Awalnya banyak warga China tidak mengetahui jika Xinjiang, yang terletak di barat China, sedang mengalami 'lockdown'.

Sampai akhirnya ada laporan berita 10 orang meninggal dalam kebakaran di sebuah apartemen minggu lalu.

Mereka yang meninggal adalah penghuni apartemen yang tidak bisa keluar karena pintunya disegel oleh pihak berwajib, sebagai langkah pencegahan penyebaran virus corona.

Ucapan belasungkawa bagi para korban mengalir di platform online, sementara beberapa orang menuntut pertanggungjawaban pemerintah.

Mereka takut hal yang sama bisa terjadi juga di daerah lain.

Namun karena komentar dan pernyataan mereka terus disensor, akhirnya mereka menggunakan kertas putih kosong, atau hanya dengan kata-kata "baik" dan "oke", sebagai bentuk ketidakpuasan terhadap penyesoran itu.

Di China, masyarakat dilarang membicarakan hal yang negatif tentang Pemerintah China atau Presiden Xi Jinping.

Unjuk rasa ini berpindah ke jalanan di ibu kota Xinjiang Urumqi, pekan lalu.

Warga Shanghai tidak bisa pergi ke Urumqi. Namun mereka akhirnya berkumpul di Jalan Wulumqi (nama jalan diambil dari Urumqi) untuk menyampaikan rasa duka kepada korban kebakaran.

Unjuk rasa meluas, termasuk hingga kota Beijing. Warga di Beijing juga memegang kertas kosong putih untuk memberikan sinyal soal sensor di internet, yang akan menghapus komentar dan pendapat yang bersebrangan dengan pemerintah China.

Anak muda meminta kebebasan

Satu hal yang membingungkan anak-anak muda China adalah mengapa unggahan bela sungkawa terhadap korban kebakaran dinilai tidak pantas sampai harus disensor pemerintah.

Tiga tahun penerapan aturan ketat dari kebijakan 'nol COVID' menyebabkan ekonomi rakyat ambruk, sementara pemerintah belum memberikan subsidi, atau bantuan apa pun bagi warga dan pemilik bisnis.

Pemerintah China selalu menekankan jika kebijakan 'nol COVID' ini merupakan strategi yang paling sukses di dunia, sambil menggunakan propaganda yang menunjukkan kekacauan dan kematian akibat COVID di negara-negara Barat.

Namun ketika pertandingan Piala Dunia Qatar 2022 ditayangkan di China, terlihat ratusan ribu penonton tidak mengenakan masker, sehingga membuat jutaan penonton di China mempertanyakan pemerintah China.

Para pengunjuk rasa yang kebanyakan adalah anak kuliah menjadi skeptis soal apa yang terjadi di luar sana.

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Mereka selama ini hanya diajarkan untuk mencintai negara mereka dan Partai Komunis.

Tapi di saat yang bersamaan, mereka juga menyaksikan aturan ketat COVID dan kerusakan ekonomi China.

Mereka tidak melihat masa depan.

Karenanya mereka memilih berunjuk rasa secara damai, memegang kertas putih dan menyerukan kebebasan dan demokrasi.

Mereka menolak sensor yang dilakukan pemerintah,  mereka juga menolak untuk melakukas tes PCR COVID setiap hari agar bisa keluar rumah, dan tidak mau lagi ada pengawasan yang terlalu ketat terhadap warga.

Ketidaktaatan pasif-agresif

Unjuk rasa yang belakangan terjadi bisa dipahami oleh jutaan warga China.

Laporan soal unjuk rasa di China sudah menyebar luas di internet.

Lewat ponsel, video anak-anak muda berteriak di jalanan menjadi viral di media sosial di China: WeChat, Weibo, TikTok dan Kuaishou.

Lembaga sensor Beijing sepertinya lamban menurunkan unggahan-unggahan ini.

Warga di setidaknya tujuh kota tergabung dalam pergerakan ini, mulai dari kota Chonqing hingga Nanjing, Beijing, juga Wuhan yang pernah menjadi pusat penyebaran COVID.

Sementara mereka yang tidak bisa turun ke jalan, menyebarkan video unjuk rasa ke grup chat pribadi dan menggunakan VPN untuk membagikannya di Twitter, dengan harapan menarik perhatian masyarakat China maupun dunia.

Warga yang takut ditangkap karena menyebarkan video juga ikut mengunggah foto kertas putih A4 kosong.

Ini juga menjadi ekspresi pasif-agresif dari ketidaktaatan warga terhadap sensor.

Dengan kertas putih sebagai simbol unjuk rasa, polisi menangkap seorang pria muda di jalanan Shanghai, hari Minggu lalu (27/11).

Berbagai video pribadi, yang dilihat ABC, menunjukkan bagaimana pria tersebut menempelkan kertas putih ke pohon.

Upaya melepaskan kertas secara paksa ditolak secara kuat oleh para pengunjuk rasa.

Protes terus berlanjut hari Minggu malam, saat orang-orang muda berkumpul di bawah Jembatan Sithong Beijing, tempat yang sebulan lalu menjadi sorotan ketika seorang pria memasang spanduk dengan slogan-slogan politik.

Tidak banyak orang percaya ia akan membawa pengaruh, bahkan namanya tidak dikonfirmasi sebelum hilang.

Tetapi bahkan dengan konsekuensi yang mengerikan, orang-orang tetap memegang selembar kertas kosong di tangan mereka, meneriakkan slogan pria tersebut.

Diproduksi oleh Natasya Salim dari laporan dalam bahasa Inggris

Iklan

Berita Selanjutnya

1 Januari 1970


Artikel Terkait

    Berita terkait tidak ada



Rekomendasi Artikel

Konten sponsor pada widget ini merupakan konten yang dibuat dan ditampilkan pihak ketiga, bukan redaksi Tempo. Tidak ada aktivitas jurnalistik dalam pembuatan konten ini.

 

Video Pilihan


Berita terkait tidak ada