Lupa Kata Sandi? Klik di Sini

atau Masuk melalui

Belum Memiliki Akun Daftar di Sini


atau Daftar melalui

Sudah Memiliki Akun Masuk di Sini

Konfirmasi Email

Kami telah mengirimkan link aktivasi melalui email ke rudihamdani@gmail.com.

Klik link aktivasi dan dapatkan akses membaca 2 artikel gratis non Laput di koran dan Majalah Tempo

Jika Anda tidak menerima email,
Kirimkan Lagi Sekarang

Logo ABC

Semakin Banyak Warga di Australia, Termasuk Asal Indonesia, Jadi Berpikir Ulang Jika Harus Pergi ke Dokter

Reporter

Editor

ABC

image-gnews
Iklan
Riris Utami Pratomo dan keluarganya harus menyiapkan dana tambahan untuk pergi ke dokter. (Koleksi pribadi)

Biasanya Riris Pratomo, warga Melbourne asal Bandung, tidak harus membayar bila datang ke 'General Practitioner' (GP) atau dokter.

Tapi sejak pindah rumah ke kawasan Glen Waverley, ada biaya yang harus dikeluarkan saat bertemu dokter yang dekat dari tempat tinggalnya

Baca Juga:

"Susah sekali mencari dokter yang menerapkan bulk billing [tidak harus membayar] dan kalau ada masa tunggunya juga sangat lama," ujar ibu dengan dua anak tersebut.

'Bulk billing' adalah salah satu dari manfaat layanan kesehatan Medicare bagi warga negara dan penduduk tetap di Australia.

Dengan 'bulk billing', warga yang datang ke dokter atau klinik tidak harus harus keluar uang sama sekali untuk mendapat layanan kesehatan, karena dokter langsung menagih pembayaran seluruhnya ke Medicare.

Baca Juga:

Jumlah warga di Australia yang menunda atau tak bisa datang ke dokter karena tidak mampu membayar telah meningkat hingga 50 persen pada tahun menurut laporan terbaru Komisi Produktivitas.

Sementara hampir seperempat orang menunda konsultasi dengan psikolog, psikiater, atau layanan kesehatan mental lainnya karena tak mampu membayar. Di beberapa negara bagian, warga bahkan telah menunggu hingga lebih dari empat tahun untuk perawatan gigi.

Apalagi di saat harga barang-barang pokok di Australia sedang naik, biaya membayar dokter menjadi pengeluaran tambahan bagi kebanyakan warga, seperti Riris.

"Kemarin saya ngobrol sama suami bahwa kita harus menyiapkan sekitar $100 tambahan per orang dan karena keluarga kita berempat, [jadi] $400 setiap bulan untuk dana bila harus ke dokter," katanya.

Jumat besok, pemerintah negara bagian akan melobi pemerintah federal di Canberra untuk memperbaiki pendanaan layanan Medicare, sebagai bagian dari sidang pertama kabinet Australia di tahun 2023.

Sejumlah GP mengeluhkan karena mereka terpaksa harus menghentikan 'bulk billing' dan membebankan biaya kepada pasien.

Ada pula GP yang menyebut sistem Medicare "gagal" dan pendanaannya perlu dikaji ulang agar lebih banyak warga Australia bisa menikmati layanan kesehatan gratis dengan waktu tunggu tidak terlalu lama.

'Berpikir ulang' jika mau ke dokter

Darius Kooth dan istrinya Devina, warga Indonesia di Melbourne, baru saja memiliki bayi perempuan.

Dalam setahun terakhir pasangan muda ini sering memerlukan layanan kesehatan baik di klinik dokter maupun rumah sakit.

"Sejauh ini kami puas dengan layanan yang ada dan kebetulan di dekat rumah saya ada klinik bulk billing, jadi kami tidak harus mengeluarkan dana tambahan dari kantong sendiri," kata Darius yang tinggal di kawasan Truganina.

Darius yang sudah lebih dari 10 tahun tinggal di Australia tersebut mengatakan sudah membaca di media mengenai semakin sulitnya mencari dokter umum yang hanya menerapkan sistem 'bulk billng'.

Ia mengatakan ada dua dokter di dekat tempat tinggalnya, tapi harus ada 'gap' atau uang yang dikeluarkan, yakni antara $40 dan $70.

"Otomatis kami tidak pilih ke sana walaupun lebih dekat dan waktu tunggunya lebih pendek," katanya.

Ia mengatakan akan melihat apakah akan ada perubahan dalam sistem pendanaan Medicare, jika tidak maka ia tak akan pergi ke dokter sesering dulu.

"Kalau nanti kita mesti bayar gap, ya kita akan berpikir ulang. Dulu, memang kalau merasa tidak enak [badan] ya langsung ke dokter."

"Kalau sekarang dengan gap, mungkin sedikit lebih mikir untuk pergi ke dokter," ujarnya.

Tak sederhana untuk diselesaikan

GP asal Indonesia dr Mohammad Gadi mengatakan masalah pendanaan Medicare cukup rumit, sehingga solusi yang ditawarkan tidak akan bisa menyelesaikan seluruh masalah sekaligus.

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

"Masalah dengan Medicare itu sangat kompleks karena sudah lama porsi biaya yang didapat dokter tidak naik, sementara harga-harga lainnya naik terus," kata dr Gadi yang bekerja di dua klinik.

Menurutnya dalam menjalankan sebuah klinik ada berbagai biaya yang harus dikeluarkan oleh klinik tersebut.

Tapi sebagian dibebankan kepada pendapatan dari para dokter yang bekerja di klinik tersebut.

"Klinik itu bukan hanya dokter saja, ada manajer, resepsionis, perawat, ada peralatan, sistem komputer, dan berbagai pengeluaran rutin," ujarnya yang sudah menetap selama 22 tahun di Australia tersebut.

Ia juga mengatakan kondisi yang dirasakan para dokter tidaklah seperti di laporan-laporan media yang menuduh "dokter hanya ingin cari uang saja, ingin kaya atas kesusahan orang lain".

Dr Gadi mengatakan semakin banyak klinik yang menerapkan biaya tambahan, atau 'gap', kepada pasien, karena pendapatan para dokter dari Medicare tidak cukup untuk menjalankan klinik.

"Ada dokter yang akhirnya menutup tempat praktek, atau ada yang berhenti dan bekerja di bidang lain," katanya lagi kepada wartawan ABC Indonesia Sastra Wijaya.

Mengenai pembahasan Medicare di sidang kabinet besok, Dr Gadi mengatakan perlunya terobosan dan kreatifitas dari pemerintah untuk bisa menyelesaikan masalah.

Jadi pemerintah perlu mengambil kebijakan yang inovatif dan kreatif, dokter perlu fokus bekerja dengan jujur dan baik,"  ujarnya.

"Dan masyarakat perlu lebih menghargai keberadaan sistem universal health care yang ada, yang menurut saya merupakan salah satu yg terbaik di dunia."

Dr Adisti Adityaputri asal Jakarta sudah bekerja menjadi dokter umum (GP) di sebuah klinik di Hampton Park di Melbourne sejak tahun 2019.

Klinik tempat ia bekerja menerapkan sistem "bulk billing', akibatnya sekarang dia harus menangani pasien lebih banyak dibandingkan masa pandemi.

"Sekarang jadwal saya sampai 3-4 hari ke depan sudah penuh, padahal sebelum pandemi tidak begitu karena ketika itu di klinik saya banyak dokter yang lain," ujar dokter lulusan Universitas Atma Jaya Jakarta tersebut.

Sebagai dokter muda yang relatif baru bekerja di Australia, dr Adisti bisa melihat banyaknya ketidakpuasan di kalangan dokter umum yang sudah lama bekerja.

"Tidak sekadar soal rabat dari Medicare yang tidak naik selama bertahun-tahun, tapi juga ada masalah lain seperti perbedaan antara dokter umum yang punya spesialisasi dan yang tidak," kata Adisti lagi.

Adisti mengaku memahami mengapa sebagian dokter kemudian memutuskan untuk keluar dari sistem Medicare dan bekerja pribadi dengan mengenakan bayaran bagi pasien mereka.

"Mereka yang bekerja privat, pasiennya lebih sedikit namun pendapatannya tidak berkurang. Stres mereka juga kurang, sehingga kemungkinan berbuat kesalahan juga menjadi lebih rendah," katanya.

Dokter Adisti mengatakan untuk menemukan solusi akan jadi tantangan pemerintah Australia karena sistem Medicare sudah berjalan selama bertahun-tahun.

"Saya agak skeptis bisa diperbaiki dengan satu dua langkah saja. Akan butuh beberapa pilihan supaya pemerintah, GP dan pasien semua senang dan diuntungkan," ujarnya.

Salah satu yang ia usulkan adalah penerapan jasa layanan kesehatan primer untuk "kasus penting", sehingga pasien tidak harus ditangani di rumah sakit.

"Ini mungkin bisa menjadi jalan tengah. Untuk mereka yang tidak bisa menunggu untuk bertemu dokter tapi kasus mereka penting, bisa ditangani di sana, tapi bukan harus mendatangi unit darurat di rumah sakit."

Iklan

Berita Selanjutnya

1 Januari 1970


Artikel Terkait

    Berita terkait tidak ada



Rekomendasi Artikel

Konten sponsor pada widget ini merupakan konten yang dibuat dan ditampilkan pihak ketiga, bukan redaksi Tempo. Tidak ada aktivitas jurnalistik dalam pembuatan konten ini.

 

Video Pilihan


Berita terkait tidak ada