Liang Tan Tiaw, usia 76 tahun adalah warga Sydney asal Indonesia yang sudah hidup dengan Pakinson's sejak tahun 2012.
Ketika hendak melakukan perbincangan dengan Tan soal bagaimana hidup dengan Parkinson's di Australia, pertanyaan ABC Indonesia dijawab oleh Simawati, istri dari Tan.
Simawati, istri Tan, mengatakan kondisi Tan kini perlahan menurun, terutama dalam gerakan tubuh dan kemampuan berbicara.
"Dia masih ingin bicara dengan orang lain namun kadang orang lain tidak mengerti apa yang dikatakannya," kata Simawati kepada Sastra Wijaya dari ABC Indonesia.
"Kalau pagi dia masih segar, bisa bangun sendiri, mandi, makan pagi. Namun habis itu kalau siang capek, tangannya mulai gemetar dan air liurnya keluar."
Sejauh ini yang dilakukan keluarganya adalah berkunjung ke dokter teratur enam minggu sekali untuk mendapatkan pemantauan dan obat-obatan yang bisa mengurangi gejala yang dialaminya.
"Beberapa tahun lalu ketika kami membuka restoran, suami saya masih bisa kerja. Dia bisa panggang ayam dan bantu yang lain," kata Simawati.
"Kemudian restoran ditutup karena kontraknya habis, juga karena dia tangannya mulai sering gemetar."
Saat ini diperkirakan ada sekitar 100 ribu warga Australia yang hidup dengan Parkinson's, termasuk diantaranya warga asal Indonesia.
Dibantu dengan 'carer'
Warga asal Indonesia lain yang hidup dengan Parkinson's adalah Frans Halim, usia 64 tahun, yang tinggal di Melbourne.
Ia mengalaminya sejak tahun 2008, tapi dengan bantuan obat-obatan ia sempat bisa menjalani kehidupan yang relatif normal.
"Saya mulai merasakan komplikasi setelah 10 tahun. Pada 8 hingga 10 tahun pertama, karena mungkin obatnya manjur, saya tidak merasa apa-apa," kata Frans.
Frans yang sudah tinggal di Australia sejak tahun 1977 mengatakan ia mengalami gejala awal ketika berusia 49 tahun.
"Ketika berjalan kaki, saya jalanya diseret dan ada kekhawatiran mungkin terkena stroke," katanya.
Setelah menjalani berbagai pemeriksaan kesehatan, dokter yang menanganinya kemudian memberikan obat yang digunakan untuk membantu pasien Parkinson's sehingga gejala fisik yang ia alami bisa diatasi.
Frans mengaku keadaan fisiknya sekarang mulai menurun, sehingga ia mendapat bantuan seorang 'carer' atau perawat, yang biaya ditanggung pemerintah Australia lewat skema bernama NDIS.
"Saya berterima kasih kepada pemerintah Australia dengan bantuan carer, karena dia membantu saya dalam kegiatan sehari-hari," katanya.
Studi untuk mengetahui penyebabnya
Tidak terlalu banyak diketahui apa penyebab Parkinson's.
Karenanya sebuah studi sedang dilakukan di Australia untuk mengumpulkan data genetik dari mereka yang hidup dengan Parkinson's.
Studi bernama Australian Parkinson's Genetic Study (APGS) ini dilakukan oleh para peneliti dari QIMR Berghofer Medical Research Institute, dengan bantuan yayasan Shake It Up Foundation dan Michael J.Fox Foundation untuk Pakinson's Research.
Lewat studi ini diharapkan bisa mengidentifikasi faktor genetik apa yang membuat seseorang berisiko memiliki Parkinson's dan gejala-gejalanya.
IklanScroll Untuk Melanjutkan"Saat ini kami sudah mendapatkan data dari sekitar tujuh ribu orang di Australia, dengan target untuk mendapatkan data dari 10 ribu orang di akhir tahun," kata Dr Miguel Renteria peneliti dari lembaga QMIR Berghofer yang terlibat dalam proyek tersebut.
"Sejauh ini 95 persen mereka yang berpartisipasi dalam studi genetika adalah mereka dengan latar belakang keturunan Eropa, padahal mereka ini jumlahnya hanya 14 persen dari jumlah penduduk dunia," kata Dr Miguel.
Oleh karena itu, para peneliti ingin memperluas cakupan data studi dengan mengundang warga dari beragam suku di Australia untuk terlibat.
Tan adalah salah satu warga Indonesia di terlibat dalam studi ini.
Chica Ramli, putri dari Tan mengatakan keikutsertaan ayahnya diharapkan bisa membantu untuk lebih memahami penyakit yang diderita ayahnya.
"Kami berpartisipasi dalam studi ini tentu dengan harapan papa bisa sembuh, dan mungkin nanti semua orang yang mengalami Parkinson's bisa sembuh, atau paling tidak mendapat perhatian lebih dan tidak terlalu menderita," kata Chica kepada ABC Indonesia.
Dr Miguel mengatakan studi dan penelitian ini nantinya akan berguna jika ada lebih banyak data genetik dari latar belakang ras selain Eropa.
"Masih banyak data dari budaya lain yang belum terwakili dalam data penelitian, dan kami yakin ada variasi genetik yang nyata di antara berbagai populasi," ujar Dr Miguel.
"Sehingga bila ada cukup informasi mengenai hal tersebut, ini akan berguna," katanya.
Ia juga menjelaskan dari penelitian yang sudah dilakukan sebelumnya, ditemukan sedikitnya ada 90 gen yang berhubungan Parkinson's.
Studi ini telah dimulai sejak tahun 2019 sebagai bagian dari penelitian dunia untuk mengumpulkan data dari 160 ribu penderita Parkinson's dari 58 negara.
'Saya menerima keadaan ini'
Di tahun 2017, Frans pernah menjalani operasi di bagian otak untuk memberikan stimulasi lebih banyak ke sarafnya.
Tapi hal tersebut masih tidak membantunya dalam menjaga keseimbangan tubuh.
"Keseimbangan adalah satu hal yang tidak bisa diperbaiki dari operasi yang saya jalani," katanya.
"Sekarang ini tanpa obat, badan saya goyang goyang terus. Kadang tubuh saya kaku," ujar Frans.
"Saya tiap dua jam harus minum obat kalau tidak tubuh saya bisa kaku selama 10-15 menit."
Sambil menunggu adanya terobosan dalam mengobati dan menangani Parkinson's di Australia, tidak ada yang bisa dilakukan Frans, selain menerimanya.
"Kualitas hidup saya menurun, tapi saya menerima keadaan ini," katanya.
"Saya sih berharap dengan obat-obatan dan operasi yang sudah saya jalankan membuat keadaan saya tidak semakin buruk."