Para petani di Australia Barat yang bergantung pada tenaga kerja musiman akan punya tantangan baru kalau mau mempertahankan bisnis mereka.
Mereka khawatir perubahan aturan kerja bagi 'backpacker' serta skema kerja bagi warga dari Kepulauan Pasifik akan mempengaruhi jumlah tenaga kerja pertanian.
Setelah melewati proses peninjuan terhadap sistem migrasi Australia, ada rekomendasi agar pemerintah Austalia membatasi masa berlaku Working Holiday Visa (WHV) hanya menjadi satu tahun.
Hal ini diusulkan ketimbang memberikan kesempatan kepada 'backpacker' untuk memperpanjang visa mereka, jika mereka melakukan pekerjaan yang memenuhi syarat selama 88 hari di wilayah regional.
Rekomendasi ini juga muncul setelah ada penyelidikan yang menyoroti eksploitasi para peserta WHV.
Meskipun Pemerintah Australia belum mengambil keputusan dari rekomendasi ini, skema Mobilitas Buruh Australia dengan peserta warga dari kepulauan Pasifik (PALM) akan berubah.
Perubahan tersebut mengharuskan pekerja di Kepulauan Pasifik untuk diberikan minimal 30 jam kerja setiap pekannya.
Dampaknya bagi petani
Sebanyak 50 persen dari tenaga kerja salah di kebun pisang milik Doriana Mangili di Australia Barat adalah peserta WHV.
Jumlahnya lebih banyak ketika musim panas, bisa mencapai 80 persen.
"Selama pandemi COVID kita tidak memiliki pekerja musiman baru dalam jumlah besar, sehingga kita menanam lebih sedikit karena petani hanya bisa memanen apa yang bisa dilakukannya sendiri [tanpa buruh]," kata Doriana.
"Harga pangan naik karena permintaan lebih banyak dan pasokan lebih sedikit."
Karenanya, para petani di Australia memutuskan untuk mempekerjakan pekerja dari Kepulauan Pasifik selama pandemi.
Namun Doriana memperkirakan perubahan yang akan mulai berlaku tahun depan bisa membuat para produsen meninggalkan skema ini.
"Kalau kita harus membayar pekerja setiap pekan dan tidak memiliki buah untuk dipanen atau dikemas, skema ini tidak lagi dapat dijalankan," katanya.
"Saya kira masyarakat juga akan meninggalkan skema tenaga kerja di Kepulauan Pasifik karena biayanya akan terlalu tinggi."
Tidak akan ke regional kalau bukan karena visa
Kaya Barry dari Griffith University, yang mengerjakan proyek tiga tahun untuk meneliti pekerja buruh musiman, mengatakan perubahan WHV dan skema PALM akan berdampak pada industri pertanian dan warga di kawasan regional Australia.
"Saat ini, terdapat keseimbangan yang cukup baik antara kedua visa ini untuk membantu sebagian besar pekerjaan musiman," katanya.
Dr Barry juga tidak yakin menghilangkan insentif 88 hari adalah keputusan yang tepat.
"Mungkin kita perlu memikirkan alternatif lain daripada mewajibkan orang bekerja dengan imbalan masa berlaku visa," katanya.
Di Donnybrook, di wilayah Barat Daya WA, backpacker, seperti Alessandro Parrone, terang-terangan mengakui kalau mereka tidak mau tinggal di sana kalau bukan karena diharuskan bekerja di pedesaan selama 88 hari, bisa tinggal lebih lama di Australia.
"Saya bahkan tidak tahu tentang Donnybrook, saya tidak akan mencari tempat yang memungkinkan untuk bertani," katanya.
"[Kalau bukan karena aturan 88 hari itu], saya tidak akan ada di sini."
Ia mengatakan para pekerja ini sebenarnya sudah memberikan kontribusi yang berharga bagi kota-kota di kawasan Australia Barat.
"Saya rasa backpacker dibutuhkan di sini," katanya.
Pekerja asal Pulau Reunion, Laurent Goseph, sepakat kalau para petani akan menghadapi kesulitan bila para backpacker tidak diberi pilihan untuk memperpanjang visa mereka.
"Ini memungkinkan saya melakukan sesuatu yang berbeda," katanya.
"Saya pikir akan sangat sulit bagi petani untuk mendapatkan pekerja. Saya pikir bukan ide yang baik [untuk membatalkan insentif regional 88 hari untuk backpacker]."
Diproduksi oleh Natasya Salim dari laporan dalam bahasa Inggris