Keraton Kasunanan Surakarta atau keraton Solo secara turun temurun menggelar peringatan malam selikuran (malam ke-21) untuk menyambut malam lailatul qadr atau malam seribu bulan.
Tradisi tersebut ditandai dengan mengarak tumpeng sewu (seribu) serta lampion dari keraton menuju Sriwedari.
Sejumlah masyarakat memaknai tradisi tumpeng sewu dalam peringatan malam selikuran ini sebagai simbol berkah.
Prosesi ini diawali derap langkah para prajurit keraton lengkap dengan seragam kebesarannya yang keluar dari pintu utama keraton, kori kamandungan. Barisan pertama merupakan para prajurit yang membawa umbul-umbul dan bendera keraton.
Di barisan belakang prajurit keraton, terdapat iring-iringan para abdi dalem keraton yang membawa lampu ting petromaks dan lampion.
Selain lampion bertuliskan lafal tulisan Arab 'Allah' dan 'Muhammad' juga terdapat lampion berbentuk kotak yang bergambar lambang keraton. Karena prosesi tersebut menggambarkan peringatan malam seribu bulan, maka lampion berbentuk bulan dan bintang pun ikut dikirab.
- Buka bersama di Gereja Katedral: Mempererat perdamaian di tengah sentimen kebencian
- Berzikir 24 jam tanpa henti, ‘tidur tetap bertasbih’
- Kuliner daging kerbau di Kudus, sejarah toleransi dari masa dakwah sunan
Dalam kirab malam selikuran tahun ini, sebanyak empat kereta kencana mengikuti kirab, sebagaimana dilaporkan wartawan di Solo, Fajar Sodiq.
Kereta kencana yang ditarik dua ekor kuda itu urutan paling depan dinaiki oleh permaisuri Raja Paku Buwono XIII Hangabehi. Sedangkan kereta di belakangnya ditumpangi oleh para pengageng keraton dan keluarga keraton.
Bahkan, di salah satu kereta kencana terdapat dua tokoh nasional yang ikut kirab, yakni Ketua Umum Partai Bulan Bintang, Yusri Ihza Mahendra dan mantan Ketua Mahkamah Konstitusi, Hamdan Zoelva. Mereka berdua kompak mengenaka busana adat beskap berwarna putih dengan bawahan jarit serta penutup kepala blangkon gaya Solo.
Iring-iringan itu melaju dari Keraton Solo menuju kawasan Sriwedari yang berjarak sekitar tiga kilometer dan memakan waktu tempuh sekitar 45 menit.
Mereka berjalan sambil mengarak ancak cantaka (kotak kayu) berisi seribu nasi tumpeng. Masing-masing setiap satu ancak cantaka yang terdiri dari dua kotak ditandu oleh dua abdi dalem.
Sesampai di bangunan joglo Sriwedari, iring-iringan ancak cantaka langsung diletakkan di lantai. Selanjutnya, penutup ancak cantaka itu pun dibuka. Para abdi dalem dan masyarakat duduk mengitari tatanan nasi tumpeng itu.
Sebelum dibagikan, salah seorang perwakilan keraton pun membacakan riwayat digelarnya malam selikuran serta kisah turunnya Wahyu lailatul qadr yang diterima Nabi Muhammad SAW. Setelah itu, prosesi dilanjutkan dengan pembacaan doa yang dilakukan oleh ulama keraton.
Usai ritual doa, para abdi dalam pun mencoba merangsek maju mendekati tatanan nasi tumpeng yang diwadahi taki serta dibungkus plastik.
Dalam sekejap, nasi tumpeng yang awalnya dibagikan, kemudian dirayah oleh para abdi dalem dan masyarakat umum.
Bagi sejumlah warga, nasi tumpeng malam selikuran diyakini membawa berkah. Tak pelak, mereka berupaya untuk memperolehnya meskipun harus dengan berebut dan berdesakan.
Salah seorang warga asal Wonogiri, Suwarno, mengaku senang karena berhasil mendapatkan nasi tumpeng saat rayahan. Ia berhasil membawa tiga bungkus nasi tumpeng yang berisi nasi gurih, tiga butir elur puyuh, kedelai hitam dan cabe hijau.
"Saya sangat senang bisa dapat tiga nasi tumpeng. Ini akan saya bawa pulang untuk dimakan di rumah bersama keluarga," kata dia di Joglo Sriwedari, Selasa malam (5/6).
Menurutnya, nasi tumpeng dalam tradisi malam selikuran diyakini memiliki berkah tersendiri. Oleh sebab itu, bagaimana caranya harus bisa mendapatkan bungkusan nasi tumpeng dalam rayahan tersebut.
"Dengan nasi tumpeng ini supaya kita mendapat berkah dari keraton," ujarnya.
Sementara itu, Pengageng Parentah Keraton Solo, Kanjeng Gusti Pangeran Haryo (KGPH) Dipokusumo menjelaskan tradisi malam selikuran digelar setiap malam ke-21 berdasarkan penanggalan kalender Jawa dan Hijriah.
Tradisi tersebut digelar untuk memperingati turunnya lailatur qadr sebagai wahyu yang diterima Nabi Muhammad SAW.
"Lailatul qadr itu digambarkan sebagai malam yang indah dengan seribu bulan," kata dia yang akrab disapa Gusti Dipo.
Lebih lanjut, ia mengungkapkan tradisi malam selikuran itu diawali dengan kegiatan di dalam keraton berupa hajat dalem tumpeng sewu. Tumpeng sewu berkaitan dengan makna simbolis sebagai malam seribu bulan.
"Di samping makna simbolis dengan tumpeng sewu, juga ada simbol-sibol seperti ting atau lampion dengan berbentuk bulan dan bintang," jelasnya.
Prosesi kirab malam selikuran dengan mengarak seribu tumpeng dari Keraton Solo menuju Sriwedari merupakan peninggalan pada masa pemerintahan Raja Paku Buwono X.
Hanya saja, yang menjadi patokan digelarnya prosesi tersebut mengacu kepada ajaran Sunan Kalijaga yang merupakan salah satu Wali Songo.
"Ajaran itu dari Wali Songo, terus Sunan Kalijaga dan Sultan Agung. Prosesi itu dirayakan hingga sekarang. Prinsip dasarnya Sunan Kalijaga itu Islam tapi njawani. Jadi ajaran Islam disampaikan dnegan memberikan pencerahan melalui budaya Jawa," ujarnya.
Menurut dia, jumlah nasi tumpeng sebanyak seribu itu terdiri dari nasi liwet atau gurih, kedelai hitam, telur puyuh, cabai dan lainnya. Bagi masyarakat Jawa, nasi tersebut memiliki simbol-simbol yang penuh dengan makna.
"Isinya itu mengandung pala kependem, artinya supaya orang itu memahami asalnya dari mana. Pala kesampar maknanya apa yang dilakukan sekarang. Sedangkan pala gemantung, apa yang akan diraih," ungkapnya.