Lupa Kata Sandi? Klik di Sini

atau Masuk melalui

Belum Memiliki Akun Daftar di Sini


atau Daftar melalui

Sudah Memiliki Akun Masuk di Sini

Konfirmasi Email

Kami telah mengirimkan link aktivasi melalui email ke rudihamdani@gmail.com.

Klik link aktivasi dan dapatkan akses membaca 2 artikel gratis non Laput di koran dan Majalah Tempo

Jika Anda tidak menerima email,
Kirimkan Lagi Sekarang

Logo BBC

Konflik Palestina-Israel: 'Kami tidak bisa tidur, rumah kami yang seharusnya aman bisa menjadi kuburan' - Kisah para ibu yang terjebak

Reporter

Editor

BBC

image-gnews
Iklan
Tova Levy (left) and Najwa Sheikh-Ahmad (right) with their children. BBC
Tova Levy (kiri) dan Najwa Sheikh-Ahmad (kanan) merasa khawatir tentang keselamatan anak-anaknya selama pertempuran yang makin memburuk.

Sejak rudal-rudal mulai menghantam kawasan di dekat rumah keluarganya di Jalur Gaza pekan ini, Najwa Sheikh-Ahmad sangat ketakutan untuk tidur.

"Malam-malam sangat menakutkan bagi kami - bagi anak-anak kami," ujar Najwa, ibu lima anak. "Setiap saat rumahmu bisa jadi kuburanmu."

Baca Juga:

Sepanjang hari, dia bisa mendengar deru jet tempur Israel yang terbang di atas, bersamaan dengan suara ledakan rudal dan bom. "Semuanya berguncang di sekitar kami," katanya. "Dan kami juga gemetar karena kami sangat takut."

Dia adalah salah satu dari banyak penduduk di Israel dan Gaza yang dicekam ketakutan, ketika kelompok militan Palestina dan pasukan Israel terus melakukan baku tembak, dan saat kekerasan di jalanan antara orang-orang Yahudi dan warga Arab Israel meletus di banyak kota di Israel. Sejauh ini sedikitnya 83 orang telah tewas di Gaza dan tujuh orang di Israel.

BBC mewawancarai dua orang ibu - satu orang Palestina, satu orang Yahudi Israel - yang terjebak dalam pertempuran terburuk di kawasan itu selama bertahun-tahun.


'Tidak mudah menyembunyikan ketakutanmu'

Baca Juga:

Ketika ratusan rudal Israel menghantam Gaza pada Rabu malam, keluarga Najwa Sheikh-Ahmad berlindung di ruangan tengah lantai pertama rumah mereka.

Ketakutan bom berikutnya bakal meluluhlantakkan rumahnya sangatlah menakutkan, ujar Najwa.

"Anda mungkin setiap saat akan terkena serangan bom, menargetkan rumahmu atau menargetkan lingkungan tempat tinggalmu," katanya.

"Ini kemungkinan mengubah tempat di mana Anda seharusnya aman menjadi kuburan bagi Anda dan anak-anak Anda, bagi mimpi-mimpimu, bagi segala kenanganmu, bagi segalanya."

Najwa tinggal bersama suami dan lima anaknya, yang berusia 11 hingga 22 tahun, di pinggiran kamp pengungsi di tengah Jalur Gaza - sebidang tanah kecil yang padat di kawasan Mediterania tempat tinggal 1,8 juta orang.

Lusinan warga sipil, termasuk 17 anak-anak, termasuk di antara mereka yang tewas dalam serangan terbaru Israel yang menargetkan kelompok Islam Hamas, menurut pihak berwenang di Gaza.

Israel mengatakan lusinan dari mereka yang tewas di Gaza adalah para militan, dan sejumlah kematian berasal dari roket yang salah tembak dari Gaza.

Baca juga:

Najwa Sheikh-Ahmad with two of her five children. BBC
Najwa merasa takut anggota keluarganya di Jalur Gaza akan menjadi target serangan.

Ketakutan Najwa memuncak ketika membicarakan tentang kemungkinan serangan darat Israel di Gaza.

"Anda tidak akan merasa aman," ujarnya. "Sebagai seorang ibu, ini sangatlah menakutkan, sangat melelahkan bagi perasaan saya, bagi kemanusiaan saya."

Najwa tidak yakin seberapa banyak yang harus dia beritahukan kepada anak-anaknya perihal kekerasan yang terjadi di sekitar mereka.

"Saya berhenti mengatakan apa pun kepada mereka," ungkapnya. "[Tapi] tidaklah mudah menyembunyikan ketakutanmu. Karena kamu tidak tahu apakah ini tempat yang aman atau tidak."

Namun, terlepas dari usahanya untuk melindungi anak-anaknya dari pembicaraan ihwal pertempuran, Najwa memahami hal itu tidak bisa dihindari.

"Mereka melacak berita sepanjang hari, bahkan jika saya menyuruh mereka agar tidak melakukannya," katanya. "Semuanya ada di Instagram dan media sosial. Semuanya hancur."

Najwa Sheikh-Ahmad with two of her children. BBC
Najwa khawatir atas lanjutan konflik bersenjata ini akan berdampak bagi putranya yang berusia 11 tahun.

Najwa memprihatinkan tentang kondisi kejiwaan anak-anaknya yang berulang kali menderita akibat konflik yang mendera Gaza sejak dulu.

Putra bungsunya, Mohammed, yang akan berulang tahun ke-12, mengalami perang Israel-Gaza pada 2008-2009 dan 2014, yang menewaskan ribuan orang warga sipil.

"Saya tidak bisa membayangkan ketika dia besar nanti - kenangan apa yang ingin dia ceritakan kepada anak-anaknya?"

Dan saat serangan udara terus berlanjut, Najwa juga sadar akan efeknya terhadap dirinya.

"Anda tidak bisa terbiasa dengan semua kengerian, Anda tidak bisa terbiasa mendengar suara anak-anak menangis dan menjerit," katanya.


'Kami terlalu takut untuk tinggal'

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Ketika aksi sekelompok orang-orang Arab Israel mencapai ruas jalan di luar rumahnya di kota Lod pada Senin malam, Tova Levy tahu sudah saatnya bagi keluarga yang berlatar Yahudi-Israel sepertinya dirinya untuk menyelamatkan diri.

Tova Levy poses with her family. BBC
Tova Levy's family fled their home after street violence broke out

Sepanjang malam, Tova membaca perkembangan terbaru yang mengkhawatirkan di grup WhatsApp komunitasnya.

Teman-temannya mengirim pesan yang memperingatkan bahwa "massa perusuh" telah meninggalkan salah satu masjid setempat, dan melakukan kerusuhan besar-besaran di kota yang dihuni campuran warga Arab dan Yahudi, yang terletak 15km di tenggara Tel Aviv.

Tak lama kemudian, katanya, para perusuh sudah mendekati rumahnya, di mana dia tinggal bersama suami dan dua anaknya yang masih kecil.

"Mereka mulai membakar berbaga benda. [Itu] benar-benar mengejutkan ... Saya ketakutan," kata Tova. "Saya berpikir, 'Apa yang dapat mencegah mendekati dan mendobrak pintu saya?'"

Tova dan keluarganya segera bergegas mengemasi sebagian barang-barangnya dan melarikan diri ke arah selatan, ke rumah saudara ipar Tova, di dekat Bersyeba.

"Kami pergi karena kami terlalu takut untuk tinggal," katanya.

Map showing Israel and the Gaza Strip BBC

Sejak mereka pergi, bentrokan di jalanan di Lod pun meledak. Aksi protes orang-orang Arab Israel di kota itu berubah menjadi kerusuhan berskala besar pada Selasa malam.

Para demonstran bentrok dengan polisi dan membakar mobil dan beberapa bangunan, sehari setelah pemakaman seorang pria yang diduga ditembak mati oleh warga Yahudi.

Wali kota Lod menyatakan: "Perang saudara telah pecah di Lod."

Tova telah meminta tetangganya agar menurunkan mezuzah, potongan perkamen dengan doa Shema tertulis di atasnya, yang dipasang oleh banyak keluarga Yahudi di tiang pintu di rumah mereka sebagai pengingat akan kehadiran Tuhan.

"Saya terlalu takut massa akan masuk ke rumah kami," katanya. Tova khawatir perihal apa yang akan tersisa saat mereka kembali.

"Kami tidak tahu apakah kami akan memiliki rumah kami kembali. Saya tidak tahu apakah rumah kami akan terkena bom ketika kami kembali."

Tova Levy with one of her children. BBC
Tova mengatakan dia merasa tidak yakin pada dirinya sendiri untuk bagaimana menjelaskan kepada anaknya yang tentang kekerasan yang terjadi.

Sejak keluarga Tova meninggalkan Lod, kota itu diserang roket. Dua orang Arab Israel tewas ketika sebuah roket yang ditembakkan dari Gaza menghantam mobil mereka pada Rabu.

Ketika sirene serangan udara berbunyi sepanjang malam, ribuan orang berlindung di tempat perlindungan, termasuk banyak warga Yahudi yang merupakan tetangga Tova yang memilih tetap bertahan di Lod.

Mereka harus berbagi tempat berlindung dengan para tetangganya yang berlatar etnis Arab, yang mereka yakini mungkin terlibat dalam kerusuhan, meningkatkan ketakutan mereka.

"Beberapa keluarga lainnya memutuskan tidak pergi ke ruangan tangga," katanya. "Beberapa dari mereka turun sebentar lalu pergi secepat mungkin."

Saat ketegangan meningkat, Tova tidak merasa yakin pada dirinya sendiri untuk bagaimana menjelaskan apa yang terjadi kepada putranya yang berusia empat setengah tahun.

"Dia tahu telah terjadi ledakan karena orang-orang jahat," katanya. "Saya merasa tidak bisa mengatakan kepadanya bahwa orang-orang Arab yang melakukannya kepada kami.

"Saya ingin dia dapat hidup damai di antara tetangganya. Saya tidak ingin dia tumbuh dengan rasa takut terhadap orang-orang Arab seperti ini. "

Tova khawatir keluarganya hanya akan terus terjebak dalam konflik yang semakin parah.

"Kami semua adalah warga sipil dan kami berperang satu sama lain," katanya. "Itu menakutkan; itu sangat, sangat menakutkan."

Iklan

Berita Selanjutnya

1 Januari 1970


Artikel Terkait

    Berita terkait tidak ada



Rekomendasi Artikel

Konten sponsor pada widget ini merupakan konten yang dibuat dan ditampilkan pihak ketiga, bukan redaksi Tempo. Tidak ada aktivitas jurnalistik dalam pembuatan konten ini.

 

Video Pilihan


Berita terkait tidak ada