Lupa Kata Sandi? Klik di Sini

atau Masuk melalui

Belum Memiliki Akun Daftar di Sini


atau Daftar melalui

Sudah Memiliki Akun Masuk di Sini

Konfirmasi Email

Kami telah mengirimkan link aktivasi melalui email ke rudihamdani@gmail.com.

Klik link aktivasi dan dapatkan akses membaca 2 artikel gratis non Laput di koran dan Majalah Tempo

Jika Anda tidak menerima email,
Kirimkan Lagi Sekarang

Logo DW

Bencana Kelaparan Mendekat, Sri Lanka Kesulitan Keluar dari Krisis

Reporter

Editor

dw

image-gnews
Bencana Kelaparan Mendekat, Sri Lanka Kesulitan Keluar dari Krisis
Iklan

Keputusan Presiden Gotabaya Rajapaksa melarang impor pupuk kimia pada April 2021 lalu, berdampak memangkas hasil panen secara drastis di Sri Lanka. Kini, di tengah bencana ekonomi, pemerintah mencabutkembali larangan tersebut dan berjanji akan menjamin ketersediaan pupuk pada musim tanam September-Maret depan.

"Walaupun kita tidak lagi punya waktu untuk mengimpor pupuk pada musim tanam ini (Mei s/d Agustus), langkah-langkah sudah diambil untuk menjamin ketersediaan cadangan yang cukup untuk musim tanam selanjutnya,” kata Perdana Menteri Ranil Wickremesinghe via akun Twitternya, Kamis (19/5) malam.

Baca Juga:

"Saya memohon kepada semua warga untuk memahami situasinya.”

Presiden Rajapaksa menunjuk sembilan menteri baru pada Jumat (20/5), antara lain untuk jabatan di Kementerian Kesehatan, Perdagangan dan Pariwisata. Adapun fungsi menteri keuangan diyakini masih akan diemban Wickremesinghe.

Kamis kemarin, Bank Sentral Sri Lanka mengumumkan sudah mengamankan jumlah mata uang asing yang cukup untuk membayar impor bahan bakar. Uang didapat dari pinjaman Bank Dunia. Namun begitu, suplai gas dan minyak belum sepenuhnya pulih.

Baca Juga:

Krisis ekonomi di Sri Lanka diprediksi akan mencuatkan angka inflasi ke kisaran 40% dalam beberapa bulan ke depan. Bank Sentral mengatakan, kenaikan inflasi digerakkan oleh gangguan pada rantai suplai.

Angka inflasi menyentuh 29,8 persen pada April silam, dengan harga bahan pokok melonjak sebanyak 46,6 persen dari tahun lalu.

Negosiasi utang

Sri lanka tahun ini diwajibkan membayar cicilan utang senilai USD 7 miliar atau sekitar Rp. 100 triliun kepada debitur luar negeri. Namun pembayaran dibekukan secara sepihak sementara pemerintah di Kolombo bernegosiasi dengan Dana Moneter Internasional (IMF).

Separuh utang Sri Lanka senilai USD 25 miliar didapat dari sektor swasta. Sementara sisanya merupakan ipinjaman dari Bank Pembangunan Asia (ADB) dan Jepang. Adapun Cina merupakan debitur terbesar ketiga bagi Sri Lanka.

Meski begitu, pemerintah di Beijing memiliki kekuatan hukum untuk memperlambat negosiasi restrukturisasi utang.

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Cina sejauh ini berjanji akan "memainkan peranan positif” dalam perundingan dengan IMF terkait pinjaman darurat. Beijing menawarkan utang tambahan kepada Sri Lanka, tapi menolak terlibat dalam negosiasi restrukturisasi utang.

Komplikasi dari Beijing

"Pemerintah Cina diyakini enggan memutihkan utang Sri Lanka lantaran mengkhawatirkan permintaan serupa dari negara-negara lain yang meminjam duit dari skema Belt and Road Initiative miliknya, kata ekonom Sri Lanka, W.A. Wijewardena.

"Jika Cina memberikan konsesi bagi Sri Lanka, ia juga harus memberikan konsesi serupa kepada kreditur lain,” ujarnya. "Mereka tidak ingin mengambil risiko tersebut.”

Keengganan Cina memutihkan utang negerinya berpotensi menghambat perundingan dengan IMF yang antara lain mengutamakan restrukturisasi utang. Sektor swasta juga akan terdorong untuk menolak penghapusan utang Sri Lanka.

"Minimnya sikap kooperatif oleh Beijing bisa membuat pemulihan utang Sri Lanka menjadi lebih rumit,” kata Aditi Mittal dari lembaga konsultasi Verisk Maplecroft.

Bank Sentral Sri Lanka sendiri bersikeras menyiapkan proposal restrukturisasi utang sebagai jalan keluar krisis. "Kami saati ini berada dalam status kebangkrutan,” kata Gubernur Bank Sentral, P. Nandalal Weerasinghe.

"Posisi kami sudah sangat jepas, sampai adanya restrukturisasi utang, kami tidak bisa membayar cicilan”, pungkasnya.

rzn/as (rtr,ap)

Iklan

Berita Selanjutnya

1 Januari 1970


Artikel Terkait

    Berita terkait tidak ada



Rekomendasi Artikel

Konten sponsor pada widget ini merupakan konten yang dibuat dan ditampilkan pihak ketiga, bukan redaksi Tempo. Tidak ada aktivitas jurnalistik dalam pembuatan konten ini.

 

Video Pilihan


Berita terkait tidak ada