TEMPO Interaktif, Jakarta - Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia merekomendasikan pemekaran daerah tak lagi melalui Dewan Perwakilan Rakyat.
Peneliti Utama LIPI Siti Zuhro mengatakan DPR tak punya kapasitas memadai dalam menilai kelayakan daerah yang akan mekar. Banyak daerah tak layak mekar akhirnya menjadi lepas dari induknya. "DPR malah membuat pemekaran tak menyejahterakan rakyat," kata Siti saat dihubungi, Selasa (22/12).
DPR, kata Siti, tak pernah mengkaji kelayakan calon daerah otonom baru. Akibatnya, syarat utama pemekaran, seperti potensi ekonomi, kualitas sumber daya manusia dan demografi terlupakan. "Yang ada hanya lobi-lobi dan uang," ujarnya.
Partai politik di DPR, dia melanjutkan, lebih mementingkan aspek politik dan kekuasaan dalam pemekaran. Dewan pun sering lepas tanggung jawab atas masalah pemekaran di daerah.
Ia mencontohkan, dalam kasus unjuk rasa pemekaran Provinsi Tapanuli Utara yang mengakibatkan Ketua DPRD Sumatera Utara Abdul Aziz Angkat meninggal, DPR tak bertanggung jawab. DPR, kata dia, tiarap ketika ada kasus pemekaran.
Menurut dia, DPR juga tak memahami penataan pemekaran daerah. Pasalnya, anggota DPR berganti tiap lima tahun. Padahal, masalah pemekaran harus berorientasi jangka panjang.
Peneliti LIPI lainnya, Lili Romli, mengatakan pemekaran sebaiknya ditangani oleh satu badan khusus. Sebenarnya, sudah ada Dewan Pertimbangan Otonomi Daerah, tapi Lili menilai Dewan Pertimbangan ini tak berfungsi maksimal.
Akibatnya, DPR sering mengambil alih peran Dewan Pertimbangan dalam memekarkan daerah. "Karena itu, harus ada penguatan Dewan Pertimbangan Otonomi Daerah," ujarnya.
Siti Zuhro mengatakan pemerintah bisa saja membentuk lembaga lain seperti Dewan Pertimbangan Otonomi Daerah. Nantinya, semua rencana pemekaran dievaluasi oleh lembaga ini.
Siti mengatakan pembentukan lembaga ini perlu dimasukkan dalam revisi Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah.
PRAMONO