TEMPO Interaktif, Jakarta -Mahkamah Konstitusi mempersilakan masyarakat yang ingin mengajukan uji materi terhadap pasal pencemaran nama baik dalam Kitab Undang-undang Hukum Pidana.
"Silakan saja, MK tinggal menerima, kami nggak boleh menolak," ujar Ketua Mahkamah Konstitusi Mahfud MD, Jumat (25/12).
Hanya saja, sebagai hakim Mahkamah, dia menolak mengomentari pengajuan uji materi itu. "Saya tidak boleh berbicara," kata dia. "Lagipula, dan saya juga tidak tahu pasal Undang-undang Dasar 1945."
Sejumlah lembaga nonpemerintah direncanakan mengajukan permohonan uji materi pasal pencemaran nama baik ke Mahkamah Konstitusi.
Salah satu penggagas adalah Masyarakat Pemantau Peradilan Indonesia (MaPPI), yang berpendapat pasal pencemaran nama sudah tidak cocok dengan sistem hukum modern.
"Bila ada yang merasa dihina atau dicemarkan namanya proses hukumnya harusnya perdata saja, bukan pidana," kata Ketua MaPPI Hasril Hertanto.
Sejumlah pasal yang diminta dihapus antara lain Pasal 207, 208, 310, 316, dan 416 Kitab tersebut. Selain pencemaran nama pribadi, pasal-pasal tersebut juga mencakup aturan soal penghinaan terhadap pejabat publik. Uji materi ini rencananya bakal diajukan awal 2010.
Hasril menambahkan, bila permohonan dikabulkan Mahkamah, hal itu akan berpengaruh pada undang-undang turunan KUHP, misalnya Undang-Undang Pers dan Undang-Undang Informasi Transaksi Elektronik. Seseorang tak bisa lagi dijerat dua undang-undang tersebut sebab norma pasal sudah hilang.
Pakar hukum pidana Universitas Indonesia Rudi Satrio berpendapat lain. Menurut dia, pasal pencemaran nama dalam KUHP masih diperlukan untuk melindungi hak masyarakat.
"Itu bagian dari proses menyatakan pendapat, ada rambu-rambunya. Tidak ada orang yang suka dihina. Kalau itu dijadikan pasal karet untuk menyerang pengkritik, berarti yang salah penerapannya, bukan pasal itu sendiri," tutur dia.
Rudi menganggap uji materi lebih cocok diajukan terhadap Undang-undang Informasi dan Transaksi Elektronik, yang juga turut mengatur perihal pencemaran nama baik namun memberikan ancaman lebih berat ketimbang KUHP.
Rudi mengatakan seharusnya UU ITE hanya mengatur hal yang belum diatur oleh perundang-undangan lainnya.
BUNGA MANGGIASIH | ANTON SEPTIAN