TEMPO Interaktif, Jakarta - Komisi Nasional Anti Kekerasan Terhadap Perempuan (Komnas Perempuan) meminta peristiwa Mei 1998 dan peristiwa pelanggaran Hak Asasi Manusia lainnya dimasukkan dalam kurikulum pendidikan sejarah nasional Indonesia. "Kami memahami semakin tipisnya ingatan atas Tragedi Mei 1998," kata Ketua SubKomisi Partisipasi Masyarakat di Komnas Perempuan, Andy Yentriyani, dalam keterangan pers di kantornya, Rabu (12/5).
Tragedi tersebut, Andy memaparkan, hanya diingat sebagai perlawanan mahasiswa dalam menggulingkan Presiden Soeharto yang saat itu telah berkuasa selama 32 tahun. Padahal ada penembakan, ada kerusuhan, ada kekerasan seksual terhadap perempuan dalam peristiwa itu. "Semua itu hilang dari catatan sebagian masyarakat," kata Andy menyesalkan.
Gejala itu ditengarai sama seperti yang terjadi pada kasus jugun ianfu, perempuan yang dipaksa jadi pelayan seks di era pendudukan Jepang. "Peristiwa ini juga tidak pernah masuk sejarah dan kita mengetahuinya dari pengakuan di luar teks sejarah," ungkap Andy.
Wakil Ketua Komnas Perempuan Desti Murdjana khawatir kejadian itu akan terulang jika Tragedi 1998 tidak diingat sebagai sejarah memilukan. Dengan media pendidikan, kata dia, seharusnya Tragedi Mei 1998 bisa jadi pelajaran, bahwa ada korban yang terluka dan meninggal dalam satu kemenangan besar.
Selain itu, korban juga akan mendapat penghargaan kalau ada pengakuan sejarah secara resmi. "Paling tidak mereka mendapat dukungan bukan penghakiman," kata Desti.
Secara keseluruhan Komnas Perempuan memandang ingatan sejarah sebagai modal membangun karakter bangsa, mendidik untuk menghormati hak asasi manusia dan keberagaman. Ingatan sejarah juga adalah modal dalam memperjuangkan keadilan bagi korban pelanggaran Hak Asasi Manusi
Dalam kesempatan itu Komnas Perempuan merekomendasikan kepada Presiden Soesilo Bambang Yudhoyono untuk mendorong Kementerian Pendidikan Nasional, Persatuan Guru, dan Pengajar Sejarah untuk melakukan integrasi terkait kurikulum itu.
DIANING SARI