Menurut Henry, mayoritas konflik itu melibatkan warga yang suka mengklaim tanah perkebunan. Pemilik perkebunan yang memegang sertifikat tak menguasai fisik tanah melawan masyarakat yang mengokupasi lahan itu karena ditelantarkan. Jumlah kasusnya sendiri bertambajnya bertambah seiring dengan banyaknya kelompok masyarakat yang ikut mengklaim lahan itu.
Kasus konflik tanah di seluruh Indonesia pada 2009 tercatat mencapai 7 ribuan kasus tahun lalu. Dulu, tak semuanya melaporkan seluruh kasus tanah. "Sekarang banyak yang melaporkan. Kami inventarisir sekitar hampir 1.500 kasus,” kata Henry.
Menurut dia, tren kasus tanah setiap tahunnya cenderung naik. Namun, pertambahan kasus itu sebagian besar disumbangkan oleh konflik tanah yang muncul lagi di atas tanah yang sebelumnya dinyatakan sudah selesai masalahnya. “Tanahnya itu-itu juga, tapi yang klaim banyak,” kata Henry.
Saat ini, pihaknya tengah memantau dan terus menginventarisir tanah HGU, perkebunan yang ditelantarkan dengan terbitnya Peraturan Pemerintah Nomor 11/2010 tentang Penertiban dan Pendayagunaan Tanah Terlantar. Dalam aturan baru yang mulai berlaku Februari lalu itu, memberikan batas waktu 3 tahun. Jika tanah tidak segera dimanfaatkan sejak sertifkat terbit, kepemilikannya bisa dicabut.
Aturan sebelumnya, kata Herny, tidak menyebutkan batas waktu itu. Namun, lanjutnya, dalam penegakannya BPN bersifat pasif. Pencabutan tanah perkebunan yang dikuasai badan hukum perseroan bisa dilakukan atas pengaduan pemerintah daerah dan masyarakat. Pemerintah bisa menyerahkan tanah itu pada masyarakat yang membutuhkan.
AHMAD FIKRI