“Karena tindakan yang sama jika dibiarkan niscaya akan terjadi terhadap penerbitan pers lain dalam berbagai kasus yang berbeda,” kata anggota Dewan Pers, Agus Sudibyo, dalam Diskusi Kekerasan terhadap Media dan Bagaimana Menanggulanginya di Kantor Dewan Pers, Jalan Kebon Sirih, Jakarta, kemarin.
Perbuatan teror itu disebut sebagai upaya untuk mengurangi daya kritis dan keberanian media dalam mengungkap skandal yang merugikan publik.
Agus menyebut kasus-kasus kekerasan terhadap media, termasuk kasus bom molotov di kantor Tempo, menunjukkan ada pihak-pihak yang tidak senang terhadap iklim dan praktek kebebasan pers di Indonesia.
“Pihak-pihak itu menempatkan kebebasan pers sebagai ancaman dan kekuatan yang harus dilemahkan dengan berbagai cara, termasuk kekerasan langsung, kriminalisasi, mengesahkan kebijakan yang antikebebasan pers, dan lain-lain,” tutur Agus.
Namun, Agus juga mengingatkan bahwa pers tidak selalu benar. “Wartawan juga bisa melakukan kesalahan atau pelanggaran etika,” kata dia. Karena itulah, menurut Agus, Undang-Undang Pers melembagakan koreksi dan hak jawab.
Agus menduga terjadinya pelemparan bom molotov di kantor Tempo dilakukan oleh pihak-pihak yang tidak tahu atau tidak mau tahu ada mekanisme demokratis untuk menyelesaikan sengketa pemberitaan, yakni penggunaan hak jawab, koreksi, atau pun mediasi Dewan Pers. “Mereka justru menempuh jalan kekerasan untuk mengekspresikan kekecewaan terhadap media,” ujarnya.
Agus menekankan agar pihak pers tidak apriori terhadap polisi dalam kasus ini. “Kita tidak boleh sepihak dan tanpa bukti menyimpulkan pelaku bom molotov itu bagian dari Polri,” kata Agus.
Demikian pula pihak Polri juga diingatkan agar tidak apriori dan buru-buru menyimpulkan kasus bom molotov ini sebagai kasus pribadi karyawan majalah Tempo. “Polri harus secara profesional mengusut kasus ini dan memberikan keadilan pada majalah Tempo dan masyarakat," ujar Agus.
Pingit Aria