TEMPO Interaktif, Jakarta - Inspektur Jenderal Polisi Ansyaad Mbai menjadi salah seorang yang paling dicari-cari wartawan dalam sepekan terakhir ini. Wajar saja, pria yang menjabat Kepala Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT) ini dianggap salah satu narasumber yang paling mumpuni soal teror bom dan jaringan-jaringan teroris di Indonesia.
Seperti diketahui, Indonesia kembali diguncang aksi teror. Selasa (15/3) pekan lalu, teror dalam bentuk bom buku dialamatkan ke sejumlah tokoh: Aktivis Jaringan Islam Liberal yang kini aktif di Partai Demokrat, Ulil Abshar Abdalla, Kepala Badan Narkotika Nasional Komisaris Jenderal Gories Mere, tokoh Pemuda Pancasila Yapto S Suryosumarno dan musisi Ahmad Dhani. Teror bom juga terjadi di perumahan Kota Wisata Cibubur, yang tak jauh dari kediaman pribadi Presiden Susilo Bambang Yudhoyono di Cikeas.
Kamis (17/3) pekan lalu, Tempo mewawancarai Ansyaad di kantornya, kawasan Jakarta Pusat. Sembari melayani wawancara selama 1 jam itu, tak kurang dari lima kali wawancara terhenti karena ia menerima telepon dari wartawan. Baik yang bertanya soal perkembangan pengusutan kasus, sampai yang ingin mengundangnya untuk memberikan penjelasan di studio televisi. Berikut ini petikan wawancara dengan Ansyaad:
Bagaimana perkembangan pengusutan teror bom buku ini?
Saya sangat optimis pelakunya akan segera tertangkap. Para penyidik Densus 88 (Detasemen Khusus Anti-Teror) sudah hafal kelakuan kelompok-kelompok teroris. Dari karakteristik bomnya, mereka pasti sudah mengidentifikasi dari kelompok mana.
Lantas dari kelompok mana mereka ini?
Saya belum bisa sebut secara spesifik. Tapi saya sangat yakin mereka (polisi) tahu (pelaku) dari kelompok mana. Yang jelas, mereka dari kelompok yang selama ini melakukan aksi teror.
Sebelumnya, sasaran teroris adalah orang asing atau kepentingan Amerika Serikat, sekarang target pelaku adalah tokoh dalam negeri. Apakah mereka mengubah sasarannya?
Target mereka adalah orang yang dianggap menghambat agenda mereka. Bisa juga (mengubah sasaran), karena dari pengalaman mereka sudah 10 tahun ini (melakukan aksi teror).
Kalau dengan target yang random, dampaknya kepada mereka adalah antipati. Orang akan mendelegitimasi aksi mereka karena banyak juga korban adalah orang Islam. Saya kira mereka menyadari hal itu. Tapi, tidak bisa juga dikatakan mengubah (taktik) karena taktik lama pun tetap digunakan. Cuma, sekarang mereka memperbanyak variasi dalam taktik penyerangan (teror).
Apakah bom buku ini tergolong taktik baru serangan teroris?
Bukunya iya (baru), tapi substansinya tidak ada perubahan. Rangkaian bom seperti itu pada 2006 banyak dipakai di Poso, Ambon. Mereka meletakkan bom senter yang ditaruh di depan rumah (target). Bom senter dan termos bukan hal baru. Kemasannya saja yang baru. Kalau cara lama kan orang sudah hafal . Karena itu mereka mencari kemasan yang baru. Dulu di Ambon, Poso, rangkaian seperti itu yang dipakai.
Jadi, bom buku ini bisa dibilang bom yang dibuat oleh para pemula?
Nggak bisa juga dibilang pemula. Karena mereka cukup perhitungan, rapi, faktor keamanan (diperhatikan) agar tidak mencurigakan. Jadi nggak bisa dibilang sederhana karena mereka kan sudah ada perhitungan, covernya, judul bukunya apa yang kira-kira si target nggak curiga. Misalnya soal radikalisme, itu Ulil pasti semangat untuk membaca ini, kemudian juga Yapto dengan buku masalah Pancasila. Jadi tidak sederhana juga karena mereka tahu karakteristik si target. Begitu juga dengan (buku untuk) Gories (Mere), judulnya soal narkoba karena dia sedang menangani soal itu. Biar orang akan menyangka ini (ulah) jaringan narkoba. Kira-kira kan begitu, ingin mengalihkan (perhatian).
Bagaimana dengan sasarannya?
Sasaran saat ini lebih spesifik. Saya tidak mau katakan kalau dulu sasarannya orang barat (asing) sekarang tidak, bukan. (Sasaran) baratnya tetap ada. Ulil (Abshar Abdalla) kan dianggap sebagai orang yang (memperjuangkan) pluralisme, sekuler, itu kan semua dianggap produk barat yang bisa merusak identitas Islam menurut versi mereka (kelompok teroris). Jadi, sasaran barat tetap ada, tetapi lebih spesifik.
Target lebih spesifik dengan sasaran domestik?
Target domestik seperti kali ini juga bukan hal baru. Pada tahun 2009 kan setelah peristiwa bom Hotel Ritz Carlton dan Marriot, terungkap jaringan mereka sedang menyiapkan bom (seberat) ratusan kilogram di Jatiasih (bekasi). Targetnya saat itu adalah Presiden (Susilo Bambang Yudhoyono).
Jadi, siapa saja yang dianggap menjadi batu sandungan dari agenda mereka itu adalah target. Yapto (Suryosumarno), saya kira mayoritas orang tahu, Yapto (identik) dengan (Pemuda) Pancasila. Dan saya yakin bukan Yapto yang ditarget. Tetapi Itu (target) simbolik Pancasila. Pancasila ini kan target paling utama yang ingin mereka hancurkan diganti dengan Syariah. Nah, Ulil, Yapto, ini menunjukkan alamat (target) ideologis dari gerakan mereka. Aspek lain menurut saya, Ulil sekarang sudah ada di pusat pengambil kebijakan. Dia dianggap akan lebih membahayakan bagi mereka.
Demikian juga Gories Mere?
Kalau Gories sangat jelas, dia orang yang paling dibenci (kelompok teroris) di republik ini karena dianggap sangat mengganggu. Gories Mere sangat berperan dalam investigasi kasus Bom Bali I. Gories dianggap (musuh) terbesar karena sangat menghambat mereka.Jadi menurut saya masyarakat perlu menyadari betul. Mereka (kelompok teroris) adalah musuh negara. Karena target mereka adalah menghancurkan empat pilar berbangsa dan bernegara. Pancasila, UUD 1945, Negara Kesatuan RI dan Bhinneka Tunggal Ika. Ini harus kita sadari bersama. Oleh karena itu Presiden sudah menyatakan teroris ini musuh negara, dan negara tak boleh kalah.
Abu Bakar Baasyir menuding rangkaian teror bom buku ini adalah kerja Densus 88?
(Tertawa). Pemikiran yang seperti inilah akar terorisme. Coba, ada warga negara yang tidak menghormati pengadilan, tidak menghormati hakim, tidak mau diadili dengan hukum negara dan harus dengan hukum agama, tidak mau diadili kalau tuduhan tidak diubah, bahwa pelatihan militer di Aceh ini bukan kejahatan, coba kita serahkan ke masyarakat untuk menilai. Pemikiran radikal seperti itulah akarnya terorisme. Tolong ini dikemukakan.
Jadi (tudingan) itu sangat mustahil sekali. Dan itulah gosip yang selalu ditonjolkan sejak awal. Dulu kan saat (polisi) menangkap Amrozi cs semua orang bilang, wah, ini skenario, nggak mungkin lah santri ceking, sarungan, bikin bom (besar) seperti itu.
Anda tadi menyebut radikalisme sebagai akar terorisme?
Ya, kalau kita tidak berhasil membendung pergerakan radikalisme, teroris akan tetap marak.
Bagaimana caranya?
Negara ini harus bertindak lebih pro-aktif, sekarang ini cara kita cenderung reaktif, sudah ada bom meledak baru (aparat) bereaksi. Dimanapun yang paling diutamakan adalah mencegah, to prevent, nah sekarang bagaimana? Negara kita kan negara hukum, semua tindakan aparat, polisi mapun intelijen harus berdasarkan hukum. Kita lihat hukumnya bagaimana. Nah, ternyata kita sering mendapat laporan ada pelatihan miter apakah di Solo, Sulawesi, dan di beberapa daerah lain, tapi polisi tidak bisa bertindak apa-apa karena pelatihan seperti itu bukan kejahatan dalam hukum kita. Tidak ada undang-undang yang melarang itu. Nah, kalau (pelatihan militer) Aceh itu kebetulan memang persiapan untuk terorisme, karena yang dilatih adalah para teroris. Para teroris ini dari penjara pun masih bisa kendalikan (aksi), keluar dari penjara, seperti di Aceh ini, Abu Tholut masih terus bermain.
Kasus teror bom buku ini juga dilakukan oleh mereka yang pernah dihukum karena kasus terorisme?
Ya, saya yakin dia-dia juga.
Saat ini, siapa saja teroris yang masih berkeliaran dan potensial membentuk jaringan baru?
Banyak. Masih ada Upik Lawanga, Umar Patek.
Kalau mereka tokoh-tokoh teroris ini tertangkap, akankah menghentikan terorisme di Indonesia?
Terorisme ini gerakan ideologis, dan gerakan ideologis tak akan pernah berhenti karena tertangkapnya atau tewasnya tokoh selama ideologi radikalnya itu belum bisa dinetralisir. Selama itu juga mereka akan terus beraksi.
Tadi anda menyebut tidak ada landasan hukum untuk mencegah akar terorisme?
Kita harus pro-aktif, sebelum mereka beraksi kita sudah harus bisa bertindak. Deradikalisasi juga nggak bisa jalan tanpa paksaan ini. Orang bebas bekoar-koar, memompakan kebencian terhadap orang lain, itu kan sumbernya terorisme. Menanamkan kebencian, menyebarkan permusuhan, itu seharusnya bisa kita tindak, jangan tunggu ada bom. Dan di semua negara telah melakukan seperti itu. Nah, kita (Indonesia) belum. Apa resikonya? Kalau di negara lain sangat ketat, keras, sementara (aturan) kita lembek, ya ini (Indonesia) jadi surganya mereka.
Apa langkah yang akan dilakukan BNPT?
Sudah ada Pokja (kelompok kerja) untuk mengamandemen Undang-Undang Terorisme di Kumham (Kementerian Hukum dan HAM). Nah kita (BNPT) sedang usulkan supaya pelatihan militer untuk terorisme itu bisa disebut sebagai kejahatan. Menanamkan kebencian, menyebarluaskan permusuhan, itu juga harus digolongkan kejahatan, nah, itulah yang nanti akan menjadi dasar polisi, intelijen untuk bertindak. Tanpa itu mau apa mereka?
Terorisme ini harus ‘disikat’ dari bibitnya?
Harus.
Lalu apa parameternya orang dianggap menyebarkan kebencian?
Ya tentu harus dijelaskan mendetil, misalnya menyerukan bahwa orang kafir itu halal darahnya, masa harus kita biarkan seperti itu? Atau bunuh si ini, bunuh si itu, karena dosa kepada Islam dan muslim, seperti judul (bom) buku itu. Apakah itu bukan menyebarkan kebencian? Bahkan sudah memberi perintah.
Kalau begitu, bisa banyak orang yang akan ditangkap?
Ya.. kalau sejak awal orang sudah melihat, oh, jangan begitu (radikal) nanti ditangkap. Kalau sekarang kan orang sangat bebas, maka (radikalisme) semakin banyak.
Jadi merevisi undang-undang yang sudah ada saja, tidak membuat undang-undang baru?
Tidak perlu undang-undang baru. Tinggal memperkuat (UU Terorisme) dengan mengamandemen yang ada. Itu sedang dalam proses. Dan kita (BNPT) memberi masukan. Pelatihan militer untuk teroris, menanamkan dan menyebarkan kebencian, permusuhan, itu perlu dikategorikan sebagai perbuatan pidana, negara harus lebih pro-aktif.
Bagaimana jika orang melakukan pelatihan bergaya militer untuk permainan atau olah raga?
Itu soal lain, sekarang kan ada Pramuka, pencinta alam, SAR (Search and rescue) itu kan jelas. Kalau jelas-jelas teroris latihan, kok masa mau dibiarin.
Tadi anda menyebut banyak laporan pelatihan militer yang mencurigakan di daerah-daerah, kenapa tidak bisa ditindak?
Ya, banyak. Tidak bisa ditindak karena dalam latihan itu mereka tidak pakai senjata, naik turun gunung. Tidak bisa ditindak karena pelatihan seperti itu bukan kejahatan dalam hukum kita.
Bagaimana bisa tahu kalau latihan itu untuk kegiatan terorisme?
Ya kan bisa dilihat siapa yang latihan, dan siapa yang melatih. Kan ada perencanaan, mereka latihan untuk apa. Kalau latihan sama teroris, dia tidak perlu ngaku mau melakukan aksi teror, dia sudah bisa dijerat.
Usulan ini pasti akan mendapat tentangan.
Pasti itu.
Kalau revisi ini jadi dilakukan, bagaimana mencegah agar polisi, intelijen tidak asal tangkap orang?
Cara menindak itu kan ada batasan-batasannya. Satu lagi usulan kita adalah memperberat hukuman. Karena dari pengalaman empiris, (pelaku teror) baru keluar penjara sudah main lagi.
(Seperti kasus pelatihan militer Aceh) Pelaku paling dihukum penjara 4-5 tahun?
Itu terlalu ringan. Memang tidak ada timbangan yang pasti, tapi kita lihat saja dari kenyataan, baru keluar (penjara) kok berbuat lagi. Berarti kan kurang lama (hukumannya), jadi seharusnya lebih lama. Orang ditahan kan supaya tidak mengulangi perbuatannya. Terbukti kok, keluar main lagi, berarti hukumannya harus lebih lama.
DIMAS