Mengenai ancaman hukuman mati, misalnya. Dalam pandangan Basrief, adanya ancaman yang tertera dalam pasal 2 ayat 2 UU Tipikor memang dilematis. Di satu sisi, ancaman hukuman mati dalam UU Tipikor memang tampak ampuh untuk memberi efek jera pada koruptor.
Namun, kata eks Wakil Jaksa Agung tersebut, pasal itu bukannya tanpa cacat. Ia mengilustrasikan, bagaimana banyak negara di Eropa yang menggunakan hal tersebut sebagai tolok ukur pelaksanaan hak asasi manusia di Indonesia.
"Ketika Kejagung akan melakukan proses asset recovery (pengembalian aset) di negara-negara Eropa, pertanyaan mereka satu: apakah kita masih menerapkan hukuman mati atau tidak," ujarnya di Kejaksaan Agung.
Dijelaskan Basrief, karena dianggap berbenturan dengan HAM, sejumlah negara di Eropa sudah tak lagi mencantumkan hukuman tersebut dalam perundangan mereka. Beda dengan Indonesia yang masih menganggapnya bagian dari hukum positif.
"Ini harus dipikirkan matang-matang. Saya sendiri belum ketemu dengan Menteri Hukum dan HAM untuk membicarakan hal ini. Tapi pengalaman saya pribadi seperti itu," kata Basrief.
Adapun mengenai kewenangan penuntutan yang dimiliki Komisi Pembarantasan Korupsi, yang juga dipangkas dalam rancangan revisi UU Tipikor, Basrief menilai hal tersebut sebenarnya tak masalah. Pihaknya siap jika kewenangan penuntutan disentralisasi di Kejaksaan.
"Di negara manapun, secara universal penuntutan berada pada Kejaksaan. Jadi kalau pun penuntutan diserahkan ke kami, itu nggak ada masalah. Lha memang kami kan sebagai penuntut umum. Itu sesuai dengan Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana," katanya.
Seperti diberitakan, rencana revisi UU Tipikor menuai kritik. Indonesia Corruption Watch misalnya, menganggap draf revisi UU tersebut justru kontraproduktif terhadap upaya pemberantasan korupsi.
Poin yang dipermasalahkan ICW adalah penghapusan kewenangan KPK dalam menuntut, penghapusan hukuman mati, pengurangan nilai hukuman minimal, dan penghapusan pidana pada korupsi senilai kurang dari Rp 25 juta.
KPK sudah menyatakan keberatannya terhadap materi RUU Tipikor yang baru. Beberapa waktu lalu Juru Bicara KPK Johan Budi mengatakan, revisi UU Tipikor belum diperlukan, karena UU yang ada saat ini, yakni UU No.31 tahun 1999 dan UU No.20 tahun 2001, sudah akomodatif.
ISMA SAVITRI