"Mereka banyak protes dan menanyakan mengapa izin usaha di kawasan hutan lama keluar. Sebab, bicara hutan, banyak kebijakan aturan yang tumpang-tindih antara pusat dan daerah," kata Menteri Kehutanan dalam Diskusi Pengembangan Industri Kehutanan di Wisma Antara, Selasa (26/4).
Lebih lanjut dia menjelaskan, pemberian izin usaha di kawasan kehutanan membutuhkan waktu lama akibat penerapan otonomi daerah, sehingga pemberian izin terlebih dahulu harus melalui kepala daerah, bupati, gubernur, baru ke Kementerian Kehutanan. "Untuk tambang saja perlu ada Amdal yang waktunya 150 hari, belum lagi izin dari masing-masing pihak tadi, bisa tahunan," ujarnya.
Lamanya perizinan, lanjut dia, juga terjadi di negara lain. Zulkifli mencontohkan Cina dan Malaysia, banyak perusahaan yang mengajukan izin di negara tersebut, tapi belum tentu disetujui karena menyangkut aspek dari kementerian lembaga lainnya. "Karena ada otonomi daerah, jadi izin harus melalui persetujuan dan rekomendasi bupati, pemda, dan gubernur," ujarnya.
Namun, dia mengakui, walaupun dengan izin, banyak kawasan hutan di daerah yang rusak karena pengembangan sumber daya alam tidak ramah lingkungan. "Bangka Belitung habis, Kalteng hutannya habis karena tambang, Kolaka Sulawesi habis karena nikel, Samarinda habis karena bauksit," katanya.
Zulkifli menyebutkan, jumlah total daratan Indonesia seluas 190 juta hektare, di mana 130 juta hektare merupakan kawasan hutan. Kawasan hutan di Indonesia terbagi menjadi kawasan hutan primer seluas 45 juta hektare, kawasan log over area yang merupakan area bekas tebangan HPH seluas 45 juta dan sisanya adalah luas kawasan hutan yang sudah tidak ada lagi pohonnya (hutan gundul).
ROSALINA