Sedangkan pemberian logo halal dan pengawasan diserahkan kepada pemerintah. Menurut Lukmanul, pemberian wewenang sertifikasi kepada MUI tersebut perlu dilakukan untuk menjaga independensi. "Agar pemberian pernyataan halal tetap independen, sehingga tidak jadi obyek politik perdagangan pemerintah," katanya.
Selain itu, menurutnya, persoalan halal atau tidak halal berada di ranah syariah. "Semestinya yang menyatakan halal adalah ulama, bukan pemerintah atau swasta," ucapnya.
Ia berharap Dewan mempertimbangkan matang-matang permintaan MUI tersebut. "Kami berharap undang-undang itu segera jadi, tapi tidak asal jadi. Jika hanya asal jadi, lebih baik tidak ada," katanya.
Saat ini Dewan sedang melakukan pembahasan RUU Jaminan Produk Halal. Menurut Lukmanul, undang-undang tersebut perlu segera ada agar Indonesia yang mayoritas berpenduduk muslim memiliki aturan komprehensif mengenai jaminan produk halal. Padahal, perdagangan internasional yang menganut pasar bebas seperti CAFTA, Masyarakat Ekonomi Eropa (European Union), dan World Trade Organization telah mengintroduksi ketentuan mengenai pedoman halal sebagaimana yang tercantum dalam Codex Alimenterius pada 2007.
Lukmanul optimistis pembahasan RUU tersebut bisa selesai tahun ini. "Karena perdebatan yang ada tinggal persoalan siapa yang akan memiliki wewenang memberikan sertifikasi, MUI atau pemerintah, saya kira perdebatan itu bisa segera dituntaskan," ujarnya.
Selain itu, dalam rangka meningkatkan sosialisasi informasi tentang produk halal, tahun ini MUI kembali mengadakan pameran produk halal internasional, yaitu Indonesia Halal Expo (Indhex 2011) pada 24-26 Juni di Gedung Smesco, Jakarta. "Kegiatan ini akan diikuti produsen dan lembaga sertifikasi halal dari dalam dan luar negeri," kata Wakil Direktur 1 LPPOM MUI, Osmena Gunawan.
Dalam acara tersebut juga akan dicanangkan pengukuhan Indonesia sebagai pusat halal dunia (World Halal Center), yang di dalamnya Indonesia akan menjadi pusat standardisasi, sertifikasi, dan teknologi halal dunia.
AGUNG SEDAYU