TEMPO Interaktif, Jakarta - Anggota Panitia Seleksi Pimpinan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), Rhenald Kasali, menuturkan tren korupsi di Indonesia kini beralih ke ranah legislatif, seperti lembaga DPR. "Ada yang blur dari sisi penyediaan anggaran di sana," kata Kasali dalam diskusi di Warung Daun Cikini, Sabtu, 11 Juni 2011.
Penganggaran di wilayah legislatif dinilainya belum transparan. "Mudah digoyang," kata Guru Besar Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia itu. Penggoyang lembaga legislatif (DPR) itu bisa dari pengusaha maupun legislator yang menyaru menjadi pengusaha.
Di sisi lain, Sekretaris Satuan Tugas Pemberantasan Mafia Hukum, Denny Indrayana, menuturkan korupsi yang merusak merupakan korupsi politik. "Ini hulunya," kata Denny.
Denny mencontohkan hulu korupsi seperti dalam pemilihan umum, pemilihan kepala daerah, hingga pengadaan barang dan jasa. Sementara itu, hilirnya adalah korupsi hukum. "Korupsi yang terjadi ketika ada kasus hukum," kata Denny.
Antara hulu dan hilir, Denny menguraikan jembatannya adalah pebisnis. "Pebisnis bisa membayar politikus maupun aparat penegak hukum demi kepentingan mereka," papar Denny.
Salah satu upaya mengurangi korupsi politik adalah memperbaiki partai politik. "Kita sudah on the track dengan menyederhanakan partai politik," kata Denny. Dengan semakin sedikitnya partai politik, kian mudah mengatur manajemen kepentingan. "Sistem ini bagus untuk sistem presidensial."
DIANING SARI