TEMPO Interaktif, Jakarta - Pengamat terorisme, Al Chaidar, menilai radikalisme yang terjadi di Indonesia bisa ditekan melalui pembentukan wajib militer (Wamil) seperti yang pernah diberlakukan di era 1980-an.
"Sejak Wamil dihentikan tahun 1980, radikalisme justru meningkat. Padahal pemberlakuan Wamil mampu menekan radikalisme, termasuk terorisme," kata Al Chaidar di Lemhannas, Selasa, 2 Agustus 2011. "Malaysia, Singapura, dan Amerika memberlakukan wajib militer dan hasilnya, radikalisme sangat minim."
Menurut Al Chaidar, salah satu faktor banyaknya masyarakat yang ikut gerakan radikal dikarenakan negara tak mampu memberikan pelatihan-pelatihan militer. Meskipun ada lembaga tertentu yang memberikan pelayanan seperti outbond. "Tapi harganya mahal dan mereka yang ikut jihad atau teroris karena menganggap kelompok radikal bisa memberikan jaminan pelatihan militer," kata Chaidar yang kini bekerja sebagai peneliti di Madani Press.
Selain itu, lanjut dia, munculnya radikalisme dikarenakan pelaku teroris merasa perjuangan untuk menegakkan syariat Islam tidak bisa melalui partai politik atau referendum karena upaya melewati politik itu sangat mustahil.
Salah satu cara yang dinilainya masuk akal adalah dengan perjanjian damai antara pemerintah dan teroris. Lemhannas juga dinilai cocok untuk melakukan perjanjian damai ini.
"Pelaku teror tidak merasa gerakan mereka adalah perjuangan panjang. Mereka akan menghentikan jika ada perjanjian damai. Program deradikalisasi apa pun akan kandas jika tak sampai ke pikiran mereka (pelaku teror)," ujarnya.
Seminar penanggulangan terorisme akan berlangsung hingga Rabu, 3 Agustus 2011, di Gedung Lemhannas RI.
WDA | ANT