TEMPO Interaktif, Jakarta - Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia berlindung di balik undang-undang mengenai pemberian remisi terhadap para terpidana koruptor. Kepala Biro Humas Kementerian Hukum dan HAM Martua Batubara mengatakan peraturan remisi dijalankan sebagai pelaksanaan dari Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1995 tentang Pemasyarakatan.
"Jika mengubah atau revisi peraturan, tentu melalui inisiatif legislasi DPR maupun pemerintah," kata Martua kemarin. Karena itu, ia menganggap remisi tetap sah sepanjang undang-undang tak diubah.
Martua menegaskan mustahil mengubah peraturan pemerintah tanpa revisi undang-undang. Sesuai dengan aturan pemasyarakatan, negara wajib memberi remisi kepada narapidana tanpa pengecualian. Pasal 14 Undang-Undang Pemasyarakatan menyebutkan hak-hak narapidana, termasuk pengurangan masa pidana.
Remisi terhadap narapidana diatur dalam Peraturan Pemerintah Nomor 28 Tahun 2006 tentang Syarat dan Tata Cara Pelaksanaan Hak Warga Binaan Pemasyarakatan. "Undang-undang itu mengatur kewajiban negara memberikan hak-hak bagi narapidana, salah satunya remisi," kata Martua.
Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi Busyro Muqoddas sebelumnya menolak pemberian remisi atau pengurangan hukuman bagi koruptor. Alasannya, koruptor merugikan negara dan membuat sengsara rakyat miskin. Hukuman koruptor harus disamakan dengan teroris, yang tak bisa mendapatkan remisi.
Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Patrialis Akbar setuju menghapus remisi koruptor. Namun Kementerian terlebih dulu meminta masukan masyarakat.
Secara terpisah, Ketua Mahkamah Konstitusi Mahfud Md., di Yogyakarta, menganggap negara masih didikte para koruptor. Ia mencontohkan permintaan pindah tahanan mantan Bendahara Umum Partai Demokrat yang juga tersangka korupsi, Muhammad Nazaruddin, dari Rumah Tahanan Brimob, Kelapa Dua, Depok, ke Cipinang. "Kasus ini telah membuat bangsa diombang-ambingkan oleh opini sesat," kata Mahfud di sela-sela open house Syawalan di rumahnya di Sambilegi Lor, Maguwoharjo, Depok, Sleman, kemarin.
Sikap kompromi pemerintah terlihat sejak Nazaruddin lari ke luar negeri. Saat Nazaruddin ditangkap, pemerintah disalahkan karena Nazar tak didampingi pengacara. Kasus Nazaruddin dinilai penuh intervensi sehingga merugikan publik. "Jangan takluk oleh koruptor yang ingin menguasai negara," kata Mahfud.
MUH SYAIFULLAH | KARTIKA CANDRA