TEMPO Interaktif, Jakarta - Muhammad Nazaruddin, eks Bendahara Umum Partai Demokrat, lagi-lagi menyeret politikus satu partainya. Dalam nota keberatan pribadinya yang dibacakan dalam sidang di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi DKI, Rabu, 7 Desember 2011, Nazar menyebut sejumlah nama seperti Ketua Umum Demokrat Anas Urbaningrum, Mirwan Amir, Andi Alifian Mallarangeng, dan Angelina Sondakh terlibat dalam proyek Wisma Atlet dan pembangunan Stadion Hambalang di Sentul, Jawa Barat.
Terdakwa kasus suap proyek pembangunan Wisma Atlet di Palembang, Nazaruddin membeberkan pertemuan pada Mei 2009 di daerah Casablanca, Jakarta Selatan, yang dihadiri Anas, pejabat PT Duta Graha Indah (DGI) Dudung Purwadi dan Mohammad El Idris, serta Nazaruddin. "Pertemuan membicarakan Hambalang, bukan yang lain," ujarnya.
Sebulan usai pertemuan Casablanca, Nazaruddin keluar dari PT Anak Negeri. Kemudian pada akhir 2009 ia dipanggil Anas dalam kapasitasnya selaku Bendahara Umum Demokrat. Anas disebut Nazar memerintahkannya untuk berkoordinasi dengan Angelina Sondakh, selaku Koordinator Anggaran dari Komisi X Dewan Perwakilan Rakyat.
Pertemuan berikutnya pun digelar. Hadir dalam rapat yang berlangsung di Kantor Kementerian Pemuda dan Olahraga: Nazar, Andi, Ketua Komisi X Mahyuddin, dan Angelina. "Dalam pembicaraan tersebut Menpora (Andi) memanggil Wafid (Wafid Muharam, saat itu Sekretaris Menpora). Disepakati Badan Anggaran akan membuat anggaran khusus untuk proyek Hambalang, dan pelaksanaan teknis akan dibicarakan Angie, Wafid, dan teman-teman DPR."
Hasil pertemuan di Kementerian Pemuda dan Olahraga diklaim Nazaruddin disampaikannya ke Anas. Kemudian pada Januari 2010 Anas memerintahkannya untuk mempertemukan Angie dengan Mindo Rosalina Manulang, Direktur Marketing PT Anak Negeri. Keduanya diharapkan bekerja sama menggarap proyek Hambalang. Tapi, soal kerja sama Mindo dengan Angie, Nazar mengaku tak tahu kelanjutannya. "Mindo hanya wajib melaporkan hasil kepada Anas," ujar dia.
Februari 2010, Anas kembali memanggil Nazaruddin. Kali ini bekas anggota Komisi VII DPR diminta untuk memanggil Ignatius Mulyono, anggota Komisi II, dan Kepala Badan Pertanahan Nasional RI Joyo Winoto untuk mengurus proyek Hambalang. Tak berselamg lama, Joyo disebut Nazar sepakat membantu Anas menerbitkan sertifikat tanah Hambalang yang dua tahun terakhir bermasalah.
Kemudian pada April 2010 Anas mengatakan kepada Nazar pemenang proyek Hambalang adalah perusahaan Badan Usaha Milik Negara PT Adhi Karya, bukan PT Duta Graha Indah. Alasannya, karena Duta Graha tidak mampu membantu Anas membiayai Kongres Demokrat, sebesar Rp 100 miliar. "Saya kemudian mendengar ada Rp 500 miliar yang dibawa ke Yulianis (Wakil Direktur Keuangan Grup Permai)," ujar Nazar.
Sejumlah nama yang dituding Nazar dalam beberapa kesempatan membantah tuduhan tersebut. Anas mengaku tak terlibat proyek Hambalang, dan sudah mengklarifikasinya di Komisi Pemberantasan Korupsi. Angelina juga mengaku tak tahu proyek itu. Ia membenarkan pernah ada pertemuan di Kementerian Pemuda dan Olahraga, tapi tidak membicarakan proyek.
Materi eksepsi Nazaruddin yang berisikan kronologi penanganan proyek Hambalang justru hanya sedikit menyentuh dakwaan jaksa. Dalam dakwaan yang dibacakan jaksa penuntut umum pada Rabu pekan lalu, jaksa menyebut Nazaruddin selaku penyelenggara negara menerima Rp 4,6 miliar terkait terpilihnya PT Duta Graha sebagai pemenang proyek Wisma Atlet.
Namun Nazaruddin membantah aliran dana tersebut. Ia mengklaim tak pernah tahu apalagi melihat duit yang disebut-sebut disimpan dalam brankas di kantor Grup Permai, dan tak mengkondisikan PT Duta Graha menang proyek senilai Rp 191 miliar. "Apa yang telah saya lakukan sehingga dikatakan mengupayakan Duta Graha menang lelang proyek?" ucap Nazar dalam akhir eksepsinya.
Nazaruddin memohon Majelis Hakim pimpinan Darwati Ningsih membatalkan dakwaan yang dibuat tim jaksa pimpinan I Kadek Wiradana. Ia menilai dakwaan jaksa cacat hukum karena penyidik KPK tidak pernah menanyainya soal proyek Wisma Atlet dalam proses penyidikan.
ISMA SAVITRI