TEMPO Interaktif, Jakarta - Muhammad Nazaruddin, eks Bendahara Umum Partai Demokrat, membacakan eksepsi atau nota keberatan dalam persidangan kasus suap proyek Wisma Atlet di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi, Rabu 7 Desember 2011. Dalam sidang yang dipimpin Ketua Majelis Hakim Darwati Ningsih itu Nazaruddin mengajukan tiga belas pertanyaan untuk Jaksa Penuntut Umum.
Politikus Demokrat itu mempertanyakan alasan dirinya didakwa mengupayakan PT Duta Graha Indah menang lelang proyek Wisma Atlet Jakabaring. "Apa yang telah saya lakukan sehingga dikatakan mengupayakan PT DGI (Duta Graha) menang?" kata Nazaruddin.
Dia juga mempertanyakan bagaimana caranya dia yang saat perkara terjadi menjabat anggota Komisi Energi Dewan Perwakilan Rakyat, mengatur dan mengintervensi lelang, serta mengatur Badan Anggaran, Komisi Olahraga dan Seni Budaya, sementara keputusan legislatif adalah kolektif.
Kepada jaksa, Nazar juga menanyakan kapan dan di mana dia menerima hadiah berupa cek senilai Rp 4,6 miliar atau uang tunai senilai tersebut dari Manajer Pemasaran PT Duta Graha Mohammad El Idris. Ia juga mempertanyakan cara hadiah duit tersebut diterimanya, apakah melalui transfer ataukah lewat cek dari pihak lain.
Tim jaksa penuntut juga diminta Nazar menjawab apakah dana Rp 4,6 miliar masih utuh dan ada di mana dana itu saat ini. "Dan apakah barang bukti kejahatan tersebut telah disita oleh penyidik Komisi Pemberantasan Korupsi? Kalau sudah, mengapa tidak meminta tanda tangan saya sebagai tersangka?"
Pertanyaan ketujuh dari Nazar kepada jaksa I Kadek Wiradana menyoalkan lima cek dari Idris yang disebut-sebut diterima Yulianis dan Oktarina Fury dari Grup Permai untuk kemudian disimpan di brankas PT Anak Negeri. "Mengapa itu diartikan menyerahkan kepada saya, sementara saya tak pernah tahu keberadaannya?" ucap Nazar.
Suami dari tersangka kasus korupsi PLTS di Kementerian Tenaga Kerja dan Transmigrasi Neneng Sri Wahyuni itu juga bertanya apakah KPK sudah mengecek ada-tidaknya sidik jarinya dan Neneng di brankas.
Ia juga mempertanyakan mengapa, dalam dakwaan, Yulianis dan Oktarina disebut sebagai staf Bagian Keuangan PT Anak Negeri. Padahal, menurut Nazar, Yulianis adalah Direktur Utama PT Executive Money Changer, sebagaimana terungkap dalam persidangan kasus korupsi PLTS Daniel Sinambela di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan.
"Apakah sudah dicek di Kementerian Hukum, Grup Permai ada atau tidak? Apakah sudah dicek, PT Anak Negeri pemegang sahamnya adalah Grup Permai, sehingga bisa dikatakan anak perusahaannya?" ujar Nazar.
Dalam eksepsi, Nazar juga mempertanyakan dasar istrinya disebut sebagai pemegang saham dan pengurus PT Anak Negeri dan Grup Permai, serta alasan Yulianis disebut sebagai bawahannya. "Faktanya, Yulianis adalah bawahan Anas Urbaningrum (Ketua Umum Partai Demokrat)," ujar dia lagi.
Nazaruddin dalam sidang pekan lalu didakwa menerima suap sebesar Rp 4,6 miliar dari Mindo Rosalina dan Mohammad El Idris. Suap itu diduga ada kaitannya dengan terpilihnya PT Duta Graha sebagai pemenang proyek Wisma Atlet senilai Rp 191 miliar. Untuk perkara suap Wisma Atlet, Rosa diganjar hukuman 2 tahun 6 bulan penjara, sedangkan Idris dihukum 2 tahun penjara.
ISMA SAVITRI