TEMPO.CO, Banda Aceh - Menulis laporan tentang bencana di media massa kurang menarik apabila hanya menampilkan data statistik. Aspek kemanusian, dampak sosial, pendidikan, dan ekonomi sangat penting dipaparkan. "Wartawan harus sangup melakukan itu," kata Arif Zulkifli, Redaktur Eksekutif Majalah Tempo di Banda Aceh, Kamis, 22 Desember 2011.
Menurut Arif, Aceh saat ini mengalami perubahan luar biasa dalam bidang politik pasca-perdamaian dan perubahan sosial pasca-tsunami. Aceh adalah sebuah laboratorium jurnalistik terkait penanganan risiko bencana dan juga konflik.
"Wartawan mampu belajar bagaimana melihat perubahan sosial dalam menulis pengurangan risiko bencana,” kata Arif dalam seminar tentang tanggung jawab sosial dalam pengurangan risiko bencana. Seminar diadakan oleh Forum Jurnalis Aceh Peduli Bencana di Hotel Hesmes.
Seminar ini sebagai rangkaian peringatan tujuh tahun tsunami di Aceh yang menewaskan puluhan ribu orang. Acara ini diikuti wartawan di Aceh dan perwakilan pemerintah daerah. Arif menambahkan, wartawan dalam melaporkan tentang bencana tidak sekadar menulis angka-angka dan peristiwa, tetapi lebih dari itu. Misalnya, kearifan lokal dan kehidupan sosial masyarakatnya dalam kesiapan menghadapi bencana.
Selain Arif, ada pembicara Khoiri Akhmadi dari RCTI, Heru Hendratmoko dari Kantor Berita Radio 68H, Choiri Ahmadi dari RCTI, Uzair dari Kantor Berita Radio Antero Banda Aceh, dan Yarmen Dinamika dari harian Serambi Indonesia.
Yarmen menjelaskan bagaimana pentingnya menulis sambil memberikan pengetahuan bagi masyarakat. “Aceh dan wilayah Indonesia lainnya umumnya berdiri di atas wilayah bencana. Bagaimana kita mampu memberi pengetahuan bagi warga agar siaga,” ujarnya.
ADI WARSIDI