TEMPO.CO, Jakarta - Nasib pejalan kaki di Jakarta sungguh menyedihkan. Sudah haknya diambil, keamanan dan kenyamanannya juga terancam. Begitulah gambaran yang diungkap arsitek tata ruang, Nirwana Yoga.
"Kalau boleh jujur, 80 persen (jalur) pedestrian di Jakarta memprihatinkan," ujar dia saat dihubungi Rabu, 25 Januari 2012.
Hanya 20 persen kawasan di Jakarta yang layak bagi pejalan kaki. Kawasan tersebut antara lain di SCBD Sudirman, Jalan Jendral Sudirman, Jalan Thamrin, sekeliling Monas, Kebon Sirih, dan sekitar Menteng. Semua yang berada di pusat kota atau pusat bisnis Jakarta.
Di luar kawasan tersebut, Nirwan melanjutkan, kondisinya tidak layak baik bagi manusia normal maupun yang berkebutuhan khusus alias difabel. Lebarnya kurang dari 1,5 meter dan permukaan naik turun terpotong jalan masuk. Belum lagi banyak jalur pedestrian yang berlubang-lubang. "Orang normal saja berbahaya," papar pria yang pernah membuat desain tata ruang dengan konsep peta hijau.
"Trotoar belum ramah pejalan kaki, pejalan kaki masih dianggap kasta terendah," ujar dia. Padahal, kota yang manusiawi adalah kota yang menghargai penduduk terlemahnya, yaitu pejalan kaki. Urutan yang benar untuk etika di jalan adalah penghargaan tertinggi bagi pedestrian, lalu pesepeda, dan terakhir baru pengguna kendaraan."Tapi di Indonesia itu kondisinya terbalik, terjadi hampir di semua kota besar," ujar Nirwana.
Contoh nyata adalah anggaran di jalan. Pemerintah Kota Jakarta justru bersedia menganggarkan hingga sekitar Rp 5 triliun untuk dua jembatan layang di kawasan Antasari dan Casablanca. Padahal, dengan anggaran yang tak sampai separuh, bisa dibangun jalur pedestrian yang nyaman untuk seluruh Kota Jakarta.
"Penghargaan kepada pejalan kaki adalah soal pola pikir," ujar Nirwana. Pola pikir yang merendahkan pejalan kaki juga tak hanya dimiliki pemerintah, melainkan pengendara lainnya. "Banyak pejalan kaki yang sudah mepet, masih dipepet lagi," kata dia. Pejalan kaki dianggap tidak layak diberi jalan dan dianggap miskin karena tidak punya kendaraan.
Pendiri sekaligus Direktur Ruang Jakarta, Marco Kusumawijaya, mengemukakan untuk memperbaiki kondisi pejalan kaki, harus diimbangi pula dengan perbaikan angkutan umum. "Makin banyak angkutan umum yang baik, maka makin banyak pula yang jalan kaki," papar dia. Imbasnya nanti adalah selain mengurangi kemacetan, juga bisa mempercantik kota.
Ia mencontohkan kalau pemerintah kota fokus memperbaiki kondisi jalur pedestrian, maka otomatis kondisi di sekitarnya juga ikut baik. Seperti pohon dan taman-taman. "Jadi, pejalan kaki adalah simbol untuk keseluruhan kota," kata Marco.
Pada Ahad kemarin, 22 Januari 2012, terjadi kecelakaan di Jalan Ridwan Rais, Jakarta Pusat. Mobil Xenia yang dikendarai Afriani Susanti, 29 tahun, menabrak sejumlah pejalan kaki di Halte Tugu Tani. Sembilan orang tewas dan empat orang mengalami luka-luka akibat kejadian tersebut.
Kepala Dinas Perhubungan Provinsi DKI Jakarta sebelumnya mengatakan kecelakaan maut yang terjadi di Jalan M.I. Ridwan Rais, Gambir, Jakarta Pusat, bukan karena ketidaklayakan prasarana. “Di sini jelas faktor manusia,” ujar Pristiono, Selasa, 24 Januari 2012.
DIANING SARI
Berita Terkait
Kata Saksi Mata: Salip Kopaja, Xenia Maut Jalan Zig-Zag
Pesan Bunda Iffet Agar 'Xenia Maut' Tak Terulang
Mau Aman Nyetir? Jangan Minum Alkohol Sama Sekali
Gerakan Antipengemudi Xenia Maut Muncul di Facebook
Niatnya Injak Rem, Sopir Xenia Maut Malah Injak Gas
Menu 'Dugem' Pengemudi Xenia Maut Cs