TEMPO.CO, Jakarta - Sebuah perusahaan tanpa pendapatan, lalu diakuisisi dengan harga 1 miliar dolar? Ini pasti sebuah bubble, betul tidak? Cerita itu adalah gambaran pembelian Instagram oleh raksasa media sosial, Facebook. Facebook dengan 850 juta pengguna, telah membeli jejaring sosial berbagi foto senilai Rp 9,1 triliun (1 miliar USD).
Instagram memang nge-hit. Meskipun baru berusia 551 hari (diluncurkan 20 September 2010), penggunanya kini mencapai 31 juta. Namun, apakah mereka benar-benar layak dihargai senilai 1 miliar USD? Padahal, di sisi lain, sebuah perusahaan kamera, Kodak, justru baru saja bangkrut beberapa waktu lalu. Bagaimana sebuah aplikasi telepon seluler yang hanya mengembangakan kemampuan berbagi foto mengalahkan sebuah perusahaan yang berproduksi normal?
Pertanyaan yang sama juga muncul pada 2006 lalu ketika Google membeli situs berbagi video Youtube senilai 1,6 miliar USD (Rp 14,7 trilun). Youtube, sebuah situs gratis, juga tidak memiliki pendapatan yang nyata. Bahkan, situs itu acap menghadapi tuntutan pelanggaran hak cipta. Apakah pembelian Youtube masuk kategori bubble teknologi?
Wakil Presiden Perusahaan Riset Pasar Intelegensia Gartner, Ray Valdes, melihat sejumlah "buih" teknologi dalam dua perusahaan itu. "Indikator utama terjadinya bubble adalah harga senilai 1 mliar USD," ujar dia. Tapi memang harga itu wajar. Mengingat Instagram itu nyata, memiliki layanan yang hebat, pengguna yang setia, memiliki nilai merek dan kaya dengan insinyur berbakat (13 pegawai Instagram). Dengan segala kelebihan Instagram, Facebook bisa menjadi tambah kaya setelah membukukan keuntungan 3,7 miliar USD (Rp 33,94 triliun).
Sebab kalau tidak diakuisisi, bisa jadi Instagram menjadi pesaing Facebook. Apalagi kini jejaring besutan Mark Zuckerberg itu mendapat rival berat dari Google melalui Google+.
Cerita bubble teknologi yang dialami Instagram adalah sejarah ketiga di dunia maya. Sejarah dimulai pada 1995 ketika pembelian situs netscape seharga miliaran dolar yang diikuti merger AOL dan Time Warner senilai 1.504 triliun. Dua bubble teknologi itu tak berakhir manis, semuanya berujung kerugian.
Teknologi akan menjadi sektor apa yang disebut mantan Gubernur Bank Sentral Amerika Serikat, Alan Greenspan, sebagai "antusiasme berlebihan." Penggeraknya adalah "uang tumpah" yang dimiliki para pemodal usaha, khususnya dari orang kaya di kawasan Pantai Barat Amerika. "Ini adalah dongeng tentang dunia maya," kata Melissa Parrish, analis dari Pusat Penelitian Forrester.
Namun, perlu diingat ada perbedaan dari ketiga bubble di atas. Pada netscape dan AOL, bubble teknologi terjadi pada produk yang berbasis komputer. Kini bubble teknologi bergeser ke telepon pintar. Telepon pintar adalah masa depan komputasi. Gartner memprediksi tahun depan, telepon pintar akan mengambil alih perangkat untuk mengakses Internet dari komputer. Perbandingannya 1,82 miliar (telepon pintar) versus 1,78 miliar (komputer)
Bubble teknologi juga dipengaruhi oleh faktor sosial dari pengguna perangkat. Sosial dalam sebuah aplikasi artinya semua biasa berbagi dalam waktu yang cepat, mudah dan hasil yang indah.
GUARDIAN|DIANING SARI
Berita lain:
Pendiri Instagram; Muda, Terberkati dan Kaya Raya
Kevin Systrom, Pria Instagram Rp 3,7 triliun
'Zuckerberg Beli Instagram Karena Facebook Katrok'
Kisah Instagram, dari 0 ke Rp 9,1 Triliun
4 Hal yang Bikin Facebook Akuisisi Istagram