TEMPO.CO, Jakarta -Majelis Ulama Indonesia (MUI) mendesak agar dilibatkan dalam kegiatan jaminan produk halal dan ditegaskan dalam Rancangan Undang-Undang Jaminan Produk Halal. "Secara historis, penilaian dan pelabelan produk halal telah dilakukan oleh MUI selama puluhan tahun," kata Ketua MUI Bidang Fatwa, Ma'ruf Amir, dalam acara Sosialisasi RUU Jaminan Produk Halal di Kantornya Sabtu, 14 April 2012.
Menurut dia labelisasi halal merupakan bentuk fatwa yang tertulis. Sehingga, kata dia, MUI harus dilibatkan dalam proses penilaiannya dari tahap awal auditing hingga tahap pengeluaran fatwa.
Sementara RUU tersebut dinilai Ma'ruf telah mengkerdilkan peran MUI dalam memberikan jaminan produk halal. Dalam RUU versi pemerintah, fungsi MUI hanyalah dalam sidang Isbat untuk menetapkan fatwa halal. Sedangkan proses penetapan standar halal, penentuan auditor untuk mengkaji produk, dan penerbitan sertifikasi halal diserahkan sepenuhnya pada pemerintah.
"Padahal ketiganya merupakan bagian yang terintegrasi dan bersifat fatwa serta tidak dapat dipisahkan satu sama lain," ucap Wakil Sekretaris Jenderal MUI Amirsyah Tambunan pada kesempatan yang sama. Dengan demikian, kata dia seharusnya kewengan-kewenangan itu diberikan kepada MUI sebagai majelis fatwa yang telah diakui oleh negara.
Direktur Lembaga Pengkajian Pangan, Obat-obatan dan Kosmetik MUI, Lukman Hakim, khawatir jika ketiga kewenangan tersebut hanya dibebankan pada pemerintah malah akan menimbulkan polemik baru. "Segala sesuatu yang dipegang oleh pemerintah pasti terkontaminasi dengan kepentingan politik dan atau kepentingan perdagangan," kata Lukman.
Ia mencontohkan kasus penyedap rasa bermerk Ajinomoto yang dinyatakan haram oleh MUI karena mengandung unsur babi dalam bahan pembuatannya. Namun oleh pemerintah, fatwa haram tersebut dipatahkan dan produk tersebut dinyatakan halal.
RAFIKA AULIA