TEMPO.CO, Jakarta - Asosiasi Petani Tebu Rakyat Indonesia menilai harga patokan petani (HPP) yang direkomendasikan Dewan Gula Indonesia sebesar Rp 8.750 per kilogram terlalu rendah. Angka itu belum final dan masih menunggu ketentuan dari Kementerian Perdagangan.
Menurut Ketua Umum Asosiasi Petani Tebu, Soemitro Samadikoen, rasio harga gula adalah 1,5 kali HPP (harga pembelian pemerintah) beras. "Dengan HPP beras saat ini Rp 6.600 per kilogram, seharusnya harga gula di level petani Rp 9.900 per kilogram," kata Soemitro di Jakarta, Selasa, 1 Mei 2012.
Dengan harga gula di tingkat eceran saat ini sekitar Rp 11 ribu per kilogram, ternyata tidak terjadi gejolak. Artinya, kata Soemitro, konsumen tak mempersoalkan harga. Kondisi sekarang berbeda dengan 2006 ketika harga gula mencapai Rp 12 ribu per kilogram. "Saat itu, masyarakat berteriak. Tapi, persoalannya bukan harga, stoknya tidak ada."
Rendemen di pabrik gula yang sangat rendah, yaitu sekitar 7 persen, juga menjadi alasan Asosiasi Petani Tebu mengusulkan HHP tinggi. Sebab, berdasarkan kajian asosiasi, persoalan bukan di tebu petani, tapi kondisi pabrik gula.
Asosiasi menghitung, jika rendemen tebu di atas 11 persen, maka HPP sekitar Rp 5.000 per kilogram. Rendemen 9-10 persen, HPP idealnya Rp 7.500 per kilogram. Tapi, bila rendemen cuma 7-8 persen, maka HPP seharusnya di atas Rp 9.000 per kilogram.
Ketua Dewan Gula, yang juga Menteri Pertanian Suswono, menyatakan angka HPP gula yang direkomendasikan sudah mempertimbangkan inflasi, bunga bank, perbandingan dengan harga beras, harga gula eks impor, harga gula di tingkat eceran, dan keuntungan petani 10 persen. “Angka tersebut sudah moderat, karena usulan petani jauh lebih tinggi. Nanti HPP akan ditetapkan oleh Menteri Perdagangan," kata Suswono.
ROSALINA