TEMPO.CO, Jakarta - Ahli hukum Frans Hendra Winarta mendesak Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) untuk tidak menuruti permintaan M. Nazaruddin agar istrinya, Neneng Sriwahyuni, menjadi tahanan kota.
"Ada beberapa alasan kenapa KPK tidak boleh kompromistis dalam hal ini," katanya kepada Tempo di Gedung Amnex, Jakarta, Rabu, 2 Mei 2012, di gedung Amnex.
Pertama, kata dia, jika KPK menerima tuntutan itu, menunjukkan KPK lemah. Padahal polisi internasional atau Interpol sudah dikerahkan untuk mencari.
"Berikutnya bisa menjadi panutan yang buruk bagi penegakan hukum karena sebuah lembaga antikorupsi melakukan transaksi dengan terpidana dalam kasus yang seharusnya mereka tuntaskan," ucap dia. Dia mengatakan jika keinginan tersebut dipenuhi tidak menutup kemungkinan koruptor lain akan ikut-ikutan.
Menurut Frans, seseorang menjadi tahanan rumah atau tidak bukanlah wewenang KPK. "Jaksa dan hakimlah yang nanti menentukan," kata dia. Jika KPK menuruti kesepakatan tersebut, maka sudah menyalahi wewenang.
Hal lain yang perlu diperhatikan, kata Frans, ada logika yang keliru jika pengacara Nazar meminta keringanan seperti itu. "Tugas pengacara adalah mendampingi, bukan melakukan tawar-menawar," kata advokat tersebut.
Pengamat hukum pidana Universitas Trisakti Yenti Garnasih mengatakan KPK seharusnya mendesak Nazar memberi tahu di mana istrinya. "Tapi, bukan kerja sama, ini sudah menjadi kewajiban Nazar memberi tahu," ucapnya.
Adapun transaksi dengan koruptor dinilai Yenti sebagai hal yang melemahkan posisi tawar koruptor. "Seharusnya KPK independen," kata dia. Bila transaksi itu dilakukan, kata dia, tindakan itu bisa menurunkan citra KPK.
Neneng mulai berstatus buron pada 20 Agustus 2011 sebelum ditetapkan sebagai tersangka kasus korupsi proyek pembangkit listrik tenaga surya di Kementerian Transmigrasi dan Tenaga Kerja. Ia dan Nazaruddin diduga menerima duit Rp 2,2 miliar dari proyek tersebut.
SYAILENDRA