TEMPO.CO, Jakarta - Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI) menilai budaya komplain konsumen Indonesia masih rendah. Padahal konsumen seharusnya kritis terhadap produk yang dibeli agar tidak diperlakukan sewenang-wenang oleh produsen.
"Budaya komplain masyarakat Indonesia masih rendah," kata Sudaryatmo dari YLKI dalam diskusi tentang Perlindungan Konsumen Produk Otomotif di Jakarta, Ahad, 6 Mei 2012. Dia menilai banyak konsumen sering tidak membaca buku panduan ketika membeli produk otomotif.
Berdasarkan data YLKI, pada 2011 ada 525 aduan konsumen terhadap produk yang mereka beli. Sebanyak 3,24 persen atau 17 di antaranya adalah aduan produk otomotif. Data ini meningkat dibandingkan tahun sebelumnya yang hanya 11 aduan dari total 590 aduan atau sebesar 1,86 persen. Sudaryatmo menjelaskan aduan ini terdiri dari cacat produk, tidak sesuai dengan spesifikasi dan pelayanan yang buruk.
Dia menuturkan saat ini banyak produk otomotif canggih, tapi konsumen tidak teredukasi dengan baik. Konsumen diminta kritis dengan membaca buku pedoman ketika membeli. "Produsen juga harus bisa mengedukasi konsumen," kata dia.
Selain itu, kata Sudaryatmo, persoalan lain konsumen Indonesia adalah minimnya saluran pengaduan. Hal itu menyebabkan banyak keluhan konsumen yang tidak tersalurkan karena tidak tahu harus mengadu ke mana.
Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen secara prinsip dia nilai masih layak untuk memberi perlindungan. Namun dia meminta ada lembaga khusus yang bisa melakukan investigasi jika ada keluhan dari konsumen. Dia mencontohkan National Highway Traffic Safety. Administration di Amerika Serikat. "Mereka punya 57 penyelidik," kata dia.
Sudaryatmo menyarankan Kementerian Perindustrian sebagai otoritas pemilik kewenangan sertifikasi kelayakan menambahkan fungsi ini. Dengan begitu pemerintah tidak hanya mengawasi kelayakan kendaraan sebelum penjualan, tapi juga sesudah penjualan. "Ini cara paling mudah," kata dia.
I WAYAN AGUS PURNOMO