TEMPO.CO, Yogyakarta- Persyarikatan Muhammadiyah menegaskan, adanya kemungkinan perbedaan awal puasa Ramadan 1433 Hijriah yang sudah ditetapkan Muhammadiyah bukan asal berbeda dengan keputusan Nahdlatul Ulama ataupun pemerintah. Hal itu sudah lewat perhitungan dengan metode hisab. "Bukan asal beda, tetapi perhitungan sesuai dengan “manhaj” penentuan tanggal dengan metode hisab," kata Agung Danarta, Sekretaris Pengurus Pusat Muhammadiyah, di Yogyakarta, Selasa 10 Juli 2012.
Sebelumnya, Muhammadiyah sudah menetapkan awal Ramadan pada 20 Juli mendatang. Karena itu, kata Agung, Muhammadiyah tak akan ikut dalam sidang isbat yang akan diselenggarakan pemerintah pada 19 Juli mendatang. "Muhammadiyah tidak perlu lagi bersidang untuk menetapkan awal puasa," katanya. Apalagi, jika keputusan sidang isbat berbeda dengan Muhammadiyah, "Kami tidak mau dianggap plin-plan dalam menentukan awal puasa."
Dalam maklumat Pimpinan Pusat Muhammadiyah, sesuai dengan hisab “hakiki wujudul hilal”, ditentukan 20 Juli sebagai awal Ramadan 1433 Hijriah. Hal itu didasari ijtimak menjelang Ramadan 1433 Hijriah yang terjadi pada Kamis Wage, 19 Juni lalu pukul 11.25.24. Tinggi bulan pada saat terbenam matahari di Yogyakarta -07 derajat 48' lintang selatan dan 100 derajat 21' bujur timur atau +01 derajat 38' 40", maka hilal sudah wujud atau bulan sabit sudah ada. Di seluruh wilayah Indonesia, pada saat terbenam matahari, bulan berada di atas ufuk.
Agung menambahkan, diperkirakan hasil hisab dan hasil rukyatulhilal awal puasa berbeda. Namun, katanya, perbedaan tidak boleh disikapi dengan perpecahan. Sebab, masing-masing pihak mempunyai dasar yang kuat dan sesuai dengan ajaran agama. "Perbedaan kan sudah lama terjadi, bukan Muhammadiyah yang beda, tetapi pemerintah yang berbeda dengan Muhammadiyah," kata Agung sambil tersenyum. Dia juga mengimbau masyarakat agar bisa memahami, menghargai, dan menghormati perbedaan itu.
Ketua Tanfidiyah Pengurus Wilayah Nahdlatul Ulama Daerah Istimewa Yogyakarta Nizar Ali mengatakan, dasar yang dipakai Muhammadiyah memang beda. Jika hilal sudah ada meski di bawah 2 derajat, berarti sudah masuk awal bulan. "Tapi banyak ulama yang menyatakan kalau hilal masih di bawah 2 derajat maka tidak terlihat," ujar Nizar.
Adapun Nahdlatul Ulama, katanya, meyakini keberadaan hilal harus memungkinkan terlihat atau imkanur rukyah dengan metode rukyatulhilal. Menurut Nizar, sebenarnya mudah menyikapi perbedaan itu. Dulu, jika ada perbedaan di masyarakat, hal itu diselesaikan oleh qodli atau hakim. Saat ini posisi qodli itu dipegang pemerintah. Nizar mengatakan ikut pemerintah lebih enak. "Kalau benar ya bagus, kalau salah, pemerintah yang menanggung," tambah dia sambil tertawa.
MUH. SYAIFULLAH
Berita Terpopuler
Dahlan Iskan Sensitif di Twitter
Alex Mengakui Fotonya Bersama Wanita
Ini Aksi Balotelli Berpesta di Kelab Malam
Begini Model Resmi Kostum Khusus Koruptor
Jokowi Kejar Satu Lift dengan Dahlan Iskan
Microsoft Deklarasikan Perang Melawan Apple
Penggelembungan Dana Hambalang: Spektakuler!