TEMPO.CO, Dublin - Cinta atau harta tidak akan lagi menjadi satu-satunya variabel yang diperhitungkan tatkala seseorang mencari pasangan hidup. Sebuah konferensi ilmiah di Dublin, Irlandia, mengungkapkan satu variabel baru dalam mencari pasangan, yakni kompatibilitas gen.
Profesor Armand Leroi dari Imperial College London mengatakan, mencari informasi ihwal kecocokan gen dari calon pasangan kini sangat dimungkinkan, mengingat biaya uji DNA sudah jauh lebih murah ketimbang beberapa tahun lalu.
"Dalam waktu 5-10 tahun akan menjadi umum bagi pasangan muda untuk membayar demi memperoleh akses terhadap seluruh kode genetik mereka," ujar ilmuwan terkemuka Inggris ini dalam Euroscience Open Forum 2012, seperti dikutip Telegraph, Senin, 16 Juli 2012.
Biaya melakukan analisis peta genetik lengkap seseorang telah turun drastis dari US$ 1 miliar lebih dari satu dekade lalu menjadi sekitar US$ 4 ribu.
Leroi mengatakan keinginan memiliki bayi yang sehat akan memicu seseorang untuk mengakses informasi tentang gen dari setiap calon pasangannya. Berbekal informasi ini, keduanya dapat menghasilkan bayi kebal penyakit lewat metode pembuahan invitro.
Kondisi ini, kata Leroi, membuat eugenika mungkin untuk dilakukan, yakni keinginan untuk "memperbaiki" ras manusia dengan membuang orang-orang berpenyakit dan cacat serta memperbanyak individu sehat.
"Puluhan ribu bayi yang belum lahir dengan sindrom Down dan penyakit lain dibatalkan setiap tahun," ujar dia. "Ini sangat mungkin dilakukan di sebagian besar negara Eropa, meski masih terbentur urusan etika."
Leroi yakin kemewahan teknologi untuk "mendesain" bayi ini tidak akan disalahgunakan, misalnya untuk menghasilkan bayi yang pintar dengan warna mata tertentu. "Fokusnya hanya untuk menghentikan penyakit genetik yang menurun pada bayi," ujarnya.
Gagasan ke arah neoeugenika ditentang keras oleh Philippa Taylor dari Persekutuan Medis Kristen. Ia menyatakan obsesi masyarakat terhadap kesempurnaan fisik semakin meningkat. Sebagian masyarakat ada yang berpandangan bahwa orang-orang cacat atau penderita penyakit genetik dianggap kurang layak hidup.
"Kita harus mengenali dan menolak pola pikir eugenika," kata Taylor. Menurut dia, prioritas yang seharusnya dibangun adalah mengembangkan pengobatan dan langkah-langkah dukungan bagi penderita cacat dan penyakit genetik.
TELEGRAPH | MAHARDIKA SATRIA HADI
Berita terpopuler lainnya:
Jokowi-Ahok Diserang Kampanye SARA
Jokowi Hanya Punya Rp 15 Juta untuk ''Mengebom''
Berkah Jokowi Cium Tangan Taufiq Kiemas
Anas Urbaningrum Pakai Kaos Masdem
SBY Minta Sutiyoso Bantu Foke
Dahlan Iskan: Semua Direksi Sarinah Perempuan
Aksi Jokowi Menggerus Basis Pemilih Foke
Jokowi-Foke Berpacu Menuju Putaran Final