TEMPO.CO, Jakarta - Direktur Hukum Internasional Kementerian Hukum dan HAM, Choiriyah, mengatakan proses ekstradisi buron kasus Bantuan Likuiditas Bank Indonesia, DJoko Tjandra, tinggal menunggu jawaban resmi dari pemerintah Papua Nugini. Surat permohonan ekstradisi telah dikirimkan pada 29 Juni lalu melalui surat diplomatik kepada pemerintah Papua Nugini.
“Bunyi suratnya permohonan ekstradisi untuk terpidana Djoko Tjandra,” kata Choiriyah saat ditemui di ruang kerjanya, Selasa, 24 Juli 2012.
Menurut Choiriyah, meskipun tidak mempunyai perjanjian bilateral mengenai ekstradisi, proses ini dapat dilakukan karena undang-undang di negara tetangga Indonesia itu mengizinkan adanya ekstradisi dengan negara Indonesia. Kedua negara sama-sama terikat dalam konvensi internasional PBB mengenai pemberantasan tindak pidana korupsi (UN Convention on Coruption).
Dalam Undang-Undang Papua Nugini Tahun 2005 tentang Ekstradisi juga diatur bahwa hal itu bisa dilakukan dengan negara yang tidak terikat dengan hubungan bilateral mengenai ekstradisi. Aturan ini berlaku untuk negara di kawasan Pasifik dan negara yang terikat dengan perjanjian internasional. Proses ekstradisi dengan Papua Nugini ini terikat dengan konvensi PBB. “Jadi tidak ada alasan bahwa kita tidak bisa melakukan ekstradisi dari Papua Nugini,” kata Choiriyah.
Keberadaan Djoko Tjandra di Papua Nugini baru diketahui pemerintah Indonesia pada Mei 2012. Tim terpadu pencari tersangka dan terpidana tindak pidana korupsi yang diketuai Wakil Jaksa Agung Darmono segera menggelar rapat untuk menyusun langkah ekstradisi. Pada 28 Juni, surat ekstradisi untuk memulangkan Joko Tjandra pun ditandatangani oleh Menteri Hukum dan HAM, Amir Syamsuddin. Pada 29 Juni, surat dikirimkan ke pemerintah Papua Nugini melalui kawat diplomatik. Hingga kini belum ada informasi resmi mengenai tanggapan surat ektradisi dari pemerintah Indonesia.
Menurut Choiriyah, meskipun secara formal belum ada jawaban resmi dari pemerintah Papua Nugini, Kementerian Hukum dan HAM terus menyiapkan upaya diplomatik yang bisa dilakukan untuk segera memulangkan Joko Tjandra. “Secara informal dengan Interpol kami sudah ada komunikasi yang mungkin belum bisa disampaikan pada media.”
Saat ini, Kementerian Hukum dan HAM memang sudah mendengar bahwa Djoko Tjandra memang tengah mengurus kewarganegaraan dari Papua Nugini. Namun sejauh ini Joko baru diketahui mendapatkan permanent resident. Pemerintah Indonesia berharap pemerintah Papua Nugini mempertimbangkan pemberian kewarganegaraan untuk Joko karena kasus BLBI ini. “Tapi memang secara resmi belum ada informasi mengenai kewarganegaraan Djoko ini.”
Pemerintah, kata Choiriyah, juga tidak bisa mencampuri urusan pemberian kewarganegaraan oleh pemerintah Papua Nugini pada Djoko Tjandra. “Memang di sana ada persoalan domestik. Kami tidak mungkin menyampuri, tapi prosedur kewarganegaraan kan harus ada pemberitahuan.”
Proses ekstradisi terhadap Djoko sangat diperlukan pemerintah untuk menyelesaikan kasus korupsi yang menyeret namanya. Djoko jadi buron dalam kasus pengalihan hak tagih (cessie) Bank Bali senilai Rp 904 miliar yang ditangani Kejaksaan Agung. Pada 29 September 1999-Agustus 2000, kejaksaan pernah menahan Joko. Namun hakim Pengadilan Negeri Jakarta Selatan memutuskan ia bebas dari tuntutan karena perbuatan itu bukan pidana, melainkan perdata.
Pada Oktober 2008, Kejaksaan mengajukan peninjauan kembali kasus Joko ke Mahkamah Agung dan diterima. Namun sehari sebelum putusan MA terbit, Djoko kabur dari Indonesia ke Port Moresby pada 10 Juni 2009. Jika masih berada di Indonesia, Djoko seharusnya dibui dua tahun dan membayar denda Rp 15 juta.
IRA GUSLINA SUFA