TEMPO.CO, Yogyakarta - Kalangan DPR sampai saat ini belum bisa memastikan adanya dana alokasi khusus untuk status keistimewaan yang akan diperoleh DIY, meski Rancangan Undang-Undang Keistimewaan ditargetkan rampung sebelum pertengahan Agustus nanti.
Wakil Ketua Komisi II DPR Ganjar Pranowo mengatakan saat ini pihaknya hanya bisa menunggu keputusan pemerintah soal dana itu dan belum bisa bicara banyak. “Soal anggaran itu, kami juga masih menunggu keputusan pemerintah di Kementerian Keuangan, belum ada hasilnya,” kata Ganjar, Rabu, 25 Juli 2012.
Sebelumnya, anggota Tim Asistensi RUUK Yogyakarta, Achiel Suyanto, melontarkan usulan agar Yogyakarta memperoleh dana keistimewaan sebesar 1,5 persen dari APBN. “DIY mengajukan dana keistimewaan itu 1,5 persen dari APBN,” kata Achiel, awal Juli lalu. Dana ini diajukan seperti halnya Aceh dan Papua, yang berstatus otonomi khusus, mendapat jatah 2 atau 3 persen. "Kami tidak sampai segitu karena melihat sumber daya. Sementara DIY tidak ada perusahaan atau proyek-proyek besar seperti kedua provinsi itu.”
Tapi belakangan, Gubernur DIY Sultan Hamengku Buwono X mengatakan usulan anggaran 1,5 persen APBN itu berasal dari Panja RUUK Komisi II DPR. Menurut Sultan, dana keistimewaan itu semacam tambahan subsidi yang diambil dari APBN yang digunakan untuk pendanaan sektor utama di DIY, seperti pariwisata, kebudayaan, dan pendidikan.
Tapi Ganjar malah mengaku bahwa usulan anggaran khusus itu merupakan hal baru. "Sampai sekarang belum pernah dibahas oleh Panitia Kerja Komisi II DPR,” ujar politikus PDI Perjuangan ini. Menurut dia, DPR hanya bisa mendesak Kementerian Keuangan untuk mencoba menghitungnya.
Pengamat politik dari UGM, Ari Dwipayana, menilai usulan anggaran keistimewaan DIY kemungkinan kecil disetujui pemerintah, jika tak ada argumen khusus yang bisa disiapkan DIY. “DIY harus punya alasan seperti daerah lain yang juga mendapat anggaran khusus dari APBN, seperti bagi hasil sumber daya alam atau fungsi lain,” kata dia. Menurut Ari, prinsip utama anggaran khusus itu adalah uang mengikuti fungsi, sehingga argumennya harus jelas.
Menurut dia, jika alasan yang digunakan untuk mendapat dana keistimewaan itu hanya untuk sektor umum, seperti membangun pendidikan, kebudayaan, atau pariwisata, hal itu sulit disetujui karena sudah melekat pada anggaran otonomi khusus semua daerah. “Malah akan lebih logis dengan alasan untuk revitalisasi Keraton dan Pakualaman. Di situ, negara harus bertanggung jawab mendukung kelangsungan kedua lembaga budaya itu. Tapi, kalau pakai itu, ya, tak akan sampai 1,5 persen APBN,” kata dia.
Anggaran keistimewaan itu masih dibahas Tim Asistensi RUUK Yogyakarta dan Kementerian Dalam Negeri di Jakarta kemarin sore. Selain itu, dibahas soal penyebutan status hukum Keraton dan Pura Pakualaman, termasuk status tanah Keraton dan Pakualaman. “Harus segera jelas tanah itu nanti milik siapa. Selama ini kan hal itu tak pernah dibahas dan rampung, jadi harus clear sekarang,” kata anggota Tim Asistensi RUUK, Suyitno, kemarin.
Usulan terakhir dari pemerintah, status hukum Keraton dan Pakualaman masih sebagai badan hukum, bukan subyek hak, seperti yang diminta pihak Keraton. Menurut Ganjar, usulan subyek hak saat ini menjadi pilihan yang dinilai pas untuk penyebutan status hukum Keraton dan Pura Pakualaman. Hal itu mempertimbangkan bentuk badan hukum, seperti perseroan terbatas, yayasan, ataupun bentuk lain. Dia mengatakan penyebutan subyek hak sudah dikonsultasikan ke pakar hukum, termasuk kepada Ketua Mahkamah Konstitusi. “Hal itu tidak masalah, asalkan nanti di pasal penjelasan diberikan penjelasan terperinci, apa yang dimaksud dengan subyek hak itu," kata Ganjar.
PRIBADI WICAKSONO
Berita terpopuler lainnya:
Kisruh Anang-KD, Ashanty Merasa Tersudut
CEO Liga Inggris Minta Maaf pada PSSI
Maia Estianty Bakal Nikah dengan Polisi?
Diperkosa hingga Tewas oleh Lima Istrinya
Dalam Masjid, Ustadz Kampanye Foke
Wamendikbud: Waspadai Jebakan Malaysia