TEMPO.CO, Jakarta - Intelektuan muda NU asal Madura, Zuhairi Misrawi, mendesak Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) menginisiasi proses rekonsiliasi mayoritas muslim dengan komunitas syiah di Sampang, Madura. "Jangan malah mendukung opsi pemerintah yang mengusulkan relokasi komunitas minoritas ini," kata Direktur Moeslim Moderate Society itu dalam seminar bersama 11 pakar konflik keagamaan dari berbagai agama bertema "Menata Keragaman Keagamaan, Respon terhadap bernuansa keagamaan di Indonesia", 12 September 2012.
Menurut pakar politik Timur Tengah itu, serangan terhadap komunitas syiah di Sampang harus diakhiri dengan pemulihan hak-hak anggota kelompok di Nangkernang itu. Untuk mencegah konflik terulang, kata dia, dialog dan kesepakatan perdamaian harus didorong oleh PBNU, sebagai organisasi yang menaungi mayoritas muslim di Madura. Pemulihan hak itu melibatkan ulama dan penganut Syiah bersama warga NU.
"Harus dipertemukan, didamaikan kemudia baca sholawat bareng. Sholawat orang NU dan Syiah kan sama, jadi ditonjolkan kesamaanya bukan perbedaanya," ujar dia.
Zuhairi mengkritik analisis yang menyederhanakan persoalan konflik Sampang sebagai persoalan asmara. Kata dia, akar konflik Sampang sangat kompleks mulai dari kepentingan ekonomi, politik Pilkada, hingga konflik kepentingan antar pemuka agama. "Konstruksi konfliknya rumit dan akarnya penyebabnya dalam, karena itu harus ada inisiatif dari luar mendorong rekonsiliasi dan perdamaian," ujar Zuhairi.
Zuhairi beranggapan konflik yang mendera komunitas Syiah di Sampang merupakan gambaran meluasnya intoleransi masyarakat Indonesia yang sampai ke kawasan pedesaan dan komunitas Nahdliyin yang terkenal moderat. Bahkan, kata dia, sakralisasi pada kekerasan demi pahala di surga ini bisa sampai mengikis budaya persaudaraan antara orang Madura yang biasa disebut Taretan. "Bagaimana bisa, sesama Madura saling usir, berarti sudah parah," kata dia.
Peneliti Wahid Institute, Alamsyah Dja`far, menambahkan kasus kekerasan terhadap Syiah Sampang mendukung data peningkatan jumlah pelanggaran hak kebebasan beragama di Indonesia selama semester awal 2012. Data Wahid Instiute menyebutkan selama Januari hingga Juni 2012 telah terjadi 53 kasus pelanggaran kebebasan beragama. Rata-rata setiap bulan terjadi sembilan tindakan. "Selama setahun lalu, rata-rata perbulan hanya ada tujuh kasus," ujar dia.
Data Wahid Institute juga menunjukkan, konsentrasi kasus pelanggaran kebebasan beragama masih sama yakni pelarangan rumah ibadah. Pada semester awal 2012, 19 persen kasus merupakan penyegelan dan pelarangan rumah ibadah. Kasus pembiaran aparat negara pada pelanggaran kebebasan beragama menempati urutan terbesar kedua. "Kasus yang menonjol ialah pembiaran pada penyerangan diskusi Irshad Manji di LKiS Yogyakarta dan kasus GKI Yasmin di Bogor," dia menambakan.
ADDI MAWAHIBUN IDHOM
Berita Terpopuler
Negara Ini Menolak untuk Jualan Coca-Cola
Dahlan Iskan Sempat Diinfus di Bandara
Baral, Pemutaran Film Kontroversi tentang Islam
Pengamat: iPhone 5 Akan Ganggu Industri Gadget
Hari Ini, Antasari Buka-bukaan Soal Century di DPR
Gangnam Style, Tarian Kuda yang Mendunia (1)