TEMPO.CO, Bandung - Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi Abraham Samad menyatakan, korupsi yang masif di Indonesia disebabkan sikap permisif masyarakat yang masih besar. Tindakan korupsi dianggap biasa dan wajar terjadi di seluruh aspek kehidupan.
Selain itu, masyarakat juga apatis dan mau memberi tempat dan ruang bagi koruptor. "Kejujuran menjadi hal aneh di negeri kita," kata Abraham saat memberi kuliah umum di Aula Timur Institut Teknologi Bandung, Jawa Barat, Rabu, 3 Oktober 2012.
Samad menyinggung sistem, peran aparat, dan institusi penegak hukum yang mendukung korupsi. Menurut doktor bidang hukum Universitas Hasanudin itu, sampai kini tak ada penegakan hukum yang tegas untuk koruptor. "Cina bisa cepat menangani korupsi dengan hukuman mati sehingga memberikan efek jera," ujarnya.
Samad mengatakan, fungsi kepolisian, kejaksaan, dan kehakiman, harus diperbaiki. Ia juga mencontohkan kebijakan pemerintah Meksiko pada 1998 saat beralih dari rezim diktator ke negara demokrasi.
Presidennya saat itu bernyali membekukan kepolisian, kejaksaan, dan kehakiman, lalu mengganti petugasnya yang korup dengan yang baru. "Langkah progresif itu dilakukan di luar konstitusi, tapi harus dilakukan untuk menyelamatkan negara," katanya.
Di tengah kondisi Indonesia sekarang, KPK menyatakan korupsi harus diperangi dengan gigih. "Apapun yang diterima, KPK tidak akan mundur dan berantas (korupsi) dengan adil. KPK tidak akan membedakan koruptor, mau anggota DPR, konglomerat, kita akan perangi," ujarnya.
ANWAR SISWADI