TEMPO.CO, Kairo - Keberhasilan membuat kesepakatan gencatan senjata antara Israel dan Palestina rupanya tak membuat masyarakat Mesir puas terhadap Presiden Muhammad Mursi. Sejak Jumat, 23 November 2012, ribuan pengunjuk rasa menguasai Tahrir Square, tempat penggulingan Presiden Husni Mubarak.
Hingga Sabtu pagi, ribuan pengunjuk rasa masih bertahan setelah konvoi dari Jalan Talaat Harb, Subra, Sayyida, Zeinab, dan Mustafa Mahmud Square. Tampak di antara ribuan pengunjuk rasa, penggemar klub sepak bola garis keras Ultras. Para pengunjuk rasa berteriak "Rakyat ingin menghancurkan rezim berkuasa", "Jangan takut, Mursi harus pergi", dan "Turunkan Ikhwanul Muslimim."
Lebih dari 30 oposisi ikut terlibat dalam demo. Keinginan mereka hanya satu: mengganti susunan kabinet Mursi dan meminta tanggung jawab polisi dan jaksa terhadap pembunuhan dan penyiksaan para pendemo. Mereka pun mendesak untuk merestrukrisasi kepolisian.
Akan tetapi, dasar dari aksi besar-besaran kemarin adalah pengumuman Deklarasi Konstitusi yang baru oleh Presiden Mursi pada Kamis, 20 November 2012. Deklarasi tersebut mengganggu kaum liberal dan sayap kiri di seluruh negeri. Mereka menyebut Presiden Mursi telah membangun kediktatoran yang baru.
Deklarasi tersebut juga telah membuat marah warga Mesir. Sebab, isinya membentengi Majelis Konstitusi dan Dewan Syura dari upaya pembubaran. "Keputusan Mursi sangat mengejutkan. Sekarang dia punya segala kekuatan meskipun kita menolaknya. Kami harus protes," ujar Ramdan Abul Azam, 40 tahun.
AHRAM|DIANING SARI
Baca juga:
Ingin Perbesar dengan Zaitun, ''Mr P'' Malah Hilang
Kehidupan Jalur Gaza Mulai Normal
Patung Liberty Tertutup untuk Umum
Bendera Israel Digilas Ratusan Mobil di Bandung