TEMPO.CO. Jakarta - Pelaku usaha kehutanan Indonesia meminta kepada pemerintah untuk mendesak Uni Eropa agar segera menandatangani perjanjian kemitraan sukarela (Voluntary Partnerhip Agreement/VPA). Perjanjian itu untuk menjamin penegakan hukum, tata kelola, dan perdagangan sektor kehutanan (FLEG-T).
Ketua Asosiasi Pulp dan Kertas Indonesia (APKI) Misbahul Huda mengatakan, langkah Uni Eropa yang menunda penandatanganan VPA telah merugikan pengusaha sektor kehutanan di Indonesia. Kerugian yang paling nyata dirasakan adalah pembatalan pemesanan produk pulp dan kertas oleh pembeli negara lain.
“Banyak buyer yang memilih untuk wait and see sampai VPA ditandatangani. Ini jelas menimbulkan ketidakpastian yang pastinya merugikan Indonesia,” kata Misbahul ketika dihubungi Kamis, 13 Desember 2012.
Negosiasi VPA antara Indonesia dengan Uni Eropa (UE) sudah berlangsung sejak tahun 2007. VPA sempat direncanakan untuk ditandatangani pada November 2012. Namun, karena sejumlah alasan, UE memilih untuk menunda penandatanganan.
Indonesia sendiri menyatakan telah siap dengan VPA, termasuk memberlakukan Sistem Verifikasi Legalitas Kayu (SVLK). Jika VPA jadi diteken, maka produk kehutanan dari Indonesia yang sudah memiliki dokumen V-legal berbasis SVLK bisa dipastikan diterima di pasar Eropa. Sistem tersebut sudah memenuhi persyaratan ketentuan importasi kayu (EU Timber Regulation) dan peraturan uji tuntas (due diligence) yang terkait dan akan diberlakukan Maret 2013.
Huda menjelaskan, banyak pembeli yang menghentikan pembelian terhitung Januari 2013. Mereka menyatakan, hanya akan memesan pulp dan kertas dari Indonesia kalau pemerintah Indonesia dan Uni Eropa telah menandatangani VPA. "Bisa dibayangkan berapa banyak kerugian yang harus ditanggung oleh perusahaan Indonesia,” Huda menjelaskan.
Huda meminta pemerintah Indonesia untuk terus menekan Uni Eropa agar FLEGT VPA segera ditandatangani karena Indonesia telah siap untuk menerapkan sistem baru ini, termasuk infrastruktur pendukungnya seperti SILK (sistem online yang menyediakan informasi legalitas kayu). Sudah banyak perusahaan Indonesia yang telah memiliki sertifikat SVLK guna mendapatkan dokumen V-legal. “Tanpa kelengkapan dokumen V-Legal, maka perusahaan pulp dan paper di Indonesia tidak dapat melakukan ekspor per 1 Januari 2013,” katanya.
Direktur Bina Pengolahan dan Pemasaran Hasil Hutan Kementerian Kehutanan Dwi Sudharto menegaskan, pemerintah Indonesia akan terus menekan UE untuk segera meneken VPA dengan Indonesia. “Kami desak agar UE tidak ingkar untuk meneken VPA.”
ROSALINA