TEMPO.CO, Jakarta - Kuku-kuku jari kaki Satrya Alfandi menghitam. Mulai dari jempol hingga jari kelingking semuanya berwarna gelap. Seperti semacam darah yang membeku. Tapi bukan itu yang bikin anggota Mahasiswa Pencinta Alam Universitas Indonesia (Mapala UI) ini pusing. "Rasanya nyeri sekali," kata Satrya pada Tempo, Selasa, 12 Februari 2013, di Sekretariat Mapala UI, Depok, Jawa Barat.
Tapi untunglah kondisi yang dialami mahasiswa Fakultas Kesehatan Masyarakat angkatan 2010 ini menunjukkan tanda-tanda perbaikan. "Untungnya bukan frosbite, baru gejala-gejalanya saja," kata Satrya, lalu merintih. Frostbite adalah membekunya sebagian organ tubuh yang terpapar oleh suhu dingin yang berlebihan.
Satrya terkena gejala tersebut saat dirinya berada di Puncak Trikora, Papua, pada Januari lalu. Dia adalah salah satu dari enam anggota Mapala UI yang tergabung dalam ekspedisi Mapala UI ke Puncak Trikora. Selain Satrya, tim ini terdiri dari Fandhi Achmad (Mapala senior), Agung Rudiarto (Fakultas Hukum angkatan 2010), M. Rinanda (Fakultas MIPA, 2010), Ridwan Hakim (Fakultas MIPA, 2010), dan Ina Diana (program ekstensi UI, 2011). Mereka berhasil mencapai puncak berketinggian 4.750 meter di atas permukaan laut itu dengan cara memanjat (direct climbing).
Suhu yang teramat dingin di ketinggian adalah penyebab utama frosbite. "Apalagi saat kami memanjat, sering terjadi hujan es," kata Satrya. Kalau saja dia sampai terkena frosbite, mau tak mau jari-jarinya harus diamputasi. "Bila tidak, saraf-saraf yang membusuk akan menyebar ke bagian tubuh lain. Dan itu lebih membahayakan," kata Fandhi, ketua tim ekspedisi.
Sebenarnya, hujan es di Puncak Trikora jarang terjadi. "Berbeda dengan Carstensz Pyramid, yang selalu diliputi salju, Puncak Trikora ini jarang diliputi es," kata Agi, sapaan Fandhi. Agi sudah pernah ke dua puncak tersebut sebelumnya. Dia enam kali ke Carstensz Pyramid dan dua kali ke Puncak Trikora. "Saat pertama kali ke Trikora dulu, saya enggak nemu es. Enggak tahu kenapa sekarang nemu," kata pria 30 tahun itu.
Upaya tim Mapala UI membuka jalur baru baru melalui panjat memang tidak mudah. Selain hujan es saat pemanjatan, beberapa kali mereka juga dihantam badai es. Puncaknya adalah Selasa dinihari, 26 Januari 2013, saat badai meluluhlantakkan kemah-kemah mereka. Namun, berbekal semangat pantang menyerah, mereka terus melanjutkan ekspedisi.
Ternyata, bukan cuma Satrya yang merasakan sakit khas pegunungan, Agi pun mendapatkannya. Tepat saat dia berhasil meraih Puncak Trikora keesokan harinya, pria 30 tahun ini mengalami snow blind alias buta salju. Ternyata dia lupa pakai kacamata. Tak pelak, angin yang bertiup kencang, yang mengandung salju, di puncak sana membuat matanya perih luar biasa. "Dibuka perih, ditutup perih, enggak bisa melihat apa-apa. Hampir seharian mata saya kedip-kedip," Agi menceritakan. (Baca: Edsus Naik Gunung)
AMIRULLAH
Berita Lain:
Puncak Mahameru, Favoritnya Para Pendaki
Pendaki Gunung Anggap Film 5 cm Norak
Mapala UI Buka Jalur Baru ke Puncak Trikora, Papua
Naik Gunung, Dari Hobi Jadi Bisnis