TEMPO.CO, Jakarta - Ketua Komisi Nasional Perlindungan Anak (Komnas Anak) Arist Merdeka Sirait mengatakan tindakan Rumah Sakit Umum Daerah Budhi Asih menahan jenazah anak pemulung karena keluarga tidak mampu membayar biaya biaya perawatan itu berlebihan. "Menahan jenazah anak itu pelanggaran asasi dan sangat berlebihan," ujarnya.
Menurut dia, sebagai rumah sakit pemerintah, RSUD Budhi Asih harusnya punya kewajiban membebaskan biaya bagi masyarakat miskin.
Sebelumnya, Wawan, 11 tahun, penyandang tunawicara sejak kecil itu sehari-hari bekerja sebagai pemulung, meninggal Jumat lalu, 22 Februari 2013, setelah masuk RS Budhi Asih dua hari sebelumnya. Dia terkena tetanus setelah tergores seng ditangannya, Ahad lalu. Wawan dirawat di kamar kelas tiga di lima RS Budhi Asih. Selama dua hari dirawat, biaya pengobatannya mencapai Rp 8,8 juta.
Karena keluarga pemulung ini tidak mampu membayar tersebut, rumah sakit menahan jasad anak pemulung ini selama tujuh jam setelah dia meninggal. Ayah Wawan, Bento, tidak ber-KTP Jakarta sehingga tidak punya Kartu Jakarta Sehat dan tak memiliki Jaminan Kesehatan Masyarakat. Jenazah bisa dikeluarkan setelah “ditebus” Rp 600 ribu oleh Rendy Widanarto, 23 tahun, pengajar Wawan di Sanggar Langit Biru Kebagusan dan kawan-kawannya. Uang itu diperoleh setelah Rendy dan temannya bantingan. Mereka juga bantingan untuk menyewa ambulan Rp 950 ribu. Setelah bernegosiasi, jasad Wawan boleh dikeluarkan dari rumah sakit.
Rendy, orang yang mengurus jenazah Wawan, mengatakan RS Budhi Asih Sabtu lalu menjanjikan pengurangan beban biaya pengobatan anak didiknya itu. "Tadi rumah sakit mengabari, kami diminta urus Jaminan Kesehatan Masyarakat untuk kurangi beban biaya," ujar Rendy, Sabtu, 23 Februari 2013. Simak berita layanan publik untuk warga miskin lainnya di sini.
M. ANDI PERDANA