TEMPO.CO, Simeulu - Simeulu menyimpan kenangan kisah smong (tsunami) yang terjadi pada 4 Januari 1907. Cerita diteruskan ke anak-cucu, menjadi kearifan lokal dan budaya, jika gempa bergegaslah ke bukit.
Ada seorang saksi yang mengalami peristiwa smong 1907 dan masih hidup hingga kini. Nek Rukiah (112 tahun), namanya. Dia masih ingat saat dibawa lari orang tuanya kala bencana itu datang.
Bicara masih lancar, matanya awas mengenali tetamu yang datang kendati usianya sudah seabad lebih. Kulitnya sudah keriput tapi masih kuat berjalan. Terbungkuk-bungkuk tanpa tongkat, dia menerima kami saat menyambangi rumahnya, Sabtu 9 Maret 2013, akhir pekan lalu.
Kami ditemani menantunya, Nurliani, yang tinggal sepelemparan batu dari rumah Rukiah dan seorang penunjuk jalan, Samsuar, warga setempat. Rukiah tinggal seorang diri di rumah kayu yang berbatas bukit dan hamparan sawah di depannya. Rindang pepohonan menutupi kedua sisi rumahnya di Desa Salur, Kecamatan Teupah Barat, jaraknya sekitar 20 kilometer Kota Sinabang, Ibukota Simeulu.
"Ingatan saya tak kuat lagi, saya masih kecil mungkin lima atau enam tahun," katanya, saat kami meminta dia bercerita tentang smong 1907. Tapi, dia masih ingat saat dibawa lari oleh orangtuanya ke bukit, waktu tsunami menyapu Simeulu.
Dalam bahasa Simeulu, Rukiah menjelaskan saat itu gempa besar melanda. Orang-orang panik tapi malah mendekat mengambil ikan-ikan yang menggelepar. Lalu, air naik, dia yang masih anak-anak digendong bapaknya berlari ke bukit. Mereka selamat.
Bahkan, menurut Rukiah, saat tsunami 1907 seekor paus besar terdampar masuk ke aliran sungai. Oleh warga, setelah air surut ikan besar itu dikembalikan ke laut. "Kami dulu sangat menghormati ikan itu, dulu paus diyakini suka menolong manusia."
Kata "Smong" dan kejadian tsunami 1907, pernah ditulis dalam buku Martinusnijhof, S-Gravenhage, tahun 1916, oleh penulis asal Belanda. Saat itu Simeulu masih di bawah kekuasaan kolonial Belanda. Nek Rukiah juga masih mampu mengingat masa kolonial Belanda dan Jepang di Simeulu. "Saat itu kami masih makan sagu," ujarnya.
Nurliani, menantunya mengakui mendengar kisah-kisah tsunami 1907 dari kecil. Karenanya, saat gempa besar yang disusul tsunami pada 26 Desember 2004 lalu, seluruh warga Simeulu berlari ke bukit. Lebih dari dua ribuan rumah hancur, tapi hanya enam orang yang meninggal di sana. "Cerita dulu sempat kami tak hiraukan, baru saat smong 2004, kami mempercayainya."
Nurliani juga melahirkan anak bungsunya saat tsunami 2004. Anak itu yang kini sudah delapan tahun lebih diberi nama Putra Smong. "Neneknya (Rukiah) yang mengusulkan nama itu," ujarnya.
Kisah dua kejadian smong masih diceritakan di Simeulu hingga kini, dan menjadi budaya. Pulau seluas 199.502 hektar dengan gugusan 40 pulau kecil yang mengitarinya, berbatasan langsung dengan Samudera Hindia. Bencana gempa biasa dialami warga, karena wilayahnya terletak pada pertemuan lempeng Asia, Australia dan Samudera Hindia.
Satu bait cerita yang kerap terdengar, diturunkan ke anak-cucu sebagai kearifan lokal dalam mitigasi bencana; Anga linon ne mali, uwek suruik sahuli, Maheya mihawali fano me singa tenggi, Ede smong kahanne (Jika gempanya kuat, disusul air yang surut, segeralah cari tempat kalian yang lebih tinggi, Itulah smong namanya). ***
ADI WARSIDI
Berita Populer
Inilah Asal-usul Julukan Hercules
Hukum Pemilik Vila Liar, 10 Tahun Penjara
Kantor Tempo Diserang
Hercules, dari Dili ke Tanah Abang
Rizal Mallarangeng Ogah Vilanya Dibongkar
Vila Liar, Rizal Tak Gentar Dipenjara 10 Tahun
Ahok Ancam Perokok Tak Bisa Berobat Gratis