TEMPO.CO, Jakarta - Tekanan terhadap rupiah masih cukup tinggi seiring dengan belum tergesernya dominasi dolar Amerika Serikat di pasar global.
Pengamat pasar uang dari PT Harvest International Futures, Ibrahim, mengatakan, pekan ini rupiah masih akan dibayangi oleh penguatan dolar Amerika Serikat (AS). "Membaiknya data ekonomi Amerika yang tidak diimbangi oleh pemulihan ekonomi Cina dan ketidakpastian krisis Eropa cenderung menguatkan posisi dolar."
Investor bersikap hati-hati dan cenderung memburu dolar. Minimnya sentimen positif membuat rupiah tak mampu berbuat banyak untuk menguat. Pertemuan Komisi Eropa, yang mendukung pengurangan defisit perdagangan Eropa, tak mampu mengerek penguatan mata uang euro lebih tinggi setelah pekan lalu ditransaksikan sekitar US$ 1,29.
Di sisi lain, defisit neraca perdagangan dalam negeri juga masih membayangi pergerakan rupiah. Tingginya impor mendorong naiknya kebutuhan dolar AS korporat sehingga harganya bergerak naik. "Konsistensi Bank Indonesia dalam menjamin likuiditas dolar masih akan menjadi penyelamat rupiah."
Menurut Ibrahim, tingginya impor migas menjadi salah satu penyebab defisit perdagangan. Sedangkan wacana pemerintah mengurangi impor migas melalui pembatasan dan penyesuaian harga bahan bakar minyak bersubsidi masih tidak jelas. Tanpa didukung kebijakan fiskal, rupiah akan terus mengalami pelemahan.
Satu-satunya faktor yang menahan pelemahan rupiah adalah derasnya aliran dana asing yang masuk ke Indonesia melalui pasar modal dan surat utang.
Pekan ini, rupiah masih akan ditransaksikan tidak jauh dari 9.700 per dolar Amerika dan ada kemungkinan menuju level resistan di 9.716 per dolar AS. Namun Bank Indonesia masih akan berada di pasar untuk menjaga mata uangnya agar tidak melemah terlalu jauh.
Akhir pekan lalu, rupiah ditutup di level 9.705 per dolar Amerika atau susut 20 poin (0,20 persen) dibandingkan posisi pekan sebelumnya.
PDAT | M. AZHAR