TEMPO.CO, Denpasar - Redaktur senior Majalah Tempo, Putu Setia yang kini telah ditahbiskan menjadi pendeta Hindu bernama Mpu Jaya Prema Ananda, menerbitkan buku biografi. Buku berjudul "Wartawan Jadi Pendeta" itu diluncurkan, Sabtu, 1Juni 2013 di Warung Tresni, Denpasar.
Hadir pada acara itu Gubernur Bali Made Mangku Pastika dan sejumlah pers. "Saya sudah melihat bukunya dan buku ini wajib untuk dibaca," kata Pastika. Ia mengaku sudah mengenal Putu Setia dan pemikirannya sejak lama, khususnya melalui buku "Bali Menggugat". "Cara berpikirnya selalu kritis dan mencerahkan," ujarnya. Menurutnya, Bali membutuhkan lebih banyak pemikiran semacam itu demi masa depan.
Salah-satu masalah yang perlu, sebut Pastika, misalnya mengenai terlalu banyaknya upacara ritual di Bali, sementara perhatian pada dunia pendidikan masih sangat kurang. Tak heran, kata Pastika, orang Bali dan Hindu cenderung mengalami ketertinggalan dalam kualitas pendidikan. Diperlukan cara berpikir yang bisa menyeimbangkan antara dua hal tersebut.
Sementara itu Mpu Jaya Prema mengungkap, inspirasi untuk menulis buku itu awalnya ketika ia dirawat di rumah sakit. "Pertamanya saya ingin menulis untuk diwariskan kepada keluarga saja," ujarnya. Namun dalam perkembangan, banyak orang yang berkomentar bahwa materi dalam itu sangat menarik untuk dibaca oleh orang lain. Sebab, selain mengungkap kehidupan pribadi penulisnya, juga berisi perkembangan sosial, politik dan budaya di Bali.
Buku ini juga ditulis layaknya karya sastra tetapi dengan didasarkan atas fakta-fakta yang dialami oleh Putu Setia. Secara keseluruhan, buku dipilah dalam 14 bab mulai dari prolog yang menceritakan kembali suasana saat pentahbisan Putu Setia sebagai Ida Bhawasti (calon pendeta). Bab demi bab kemudian mengkisahkan kehidupan Putu Setia sejak masa kecil, masa berkarir sebagai wartawan, hingga pulang kembali ke Bali untuk mempersiapkan diri menjadi pendeta.
Adapun alasan utamannya untuk menjadi pendeta terutama adalah perasaan berutang kepada leluhurnya. "Sebab, kakek dan ayah saya menolak untuk menjadi pemangku atau pengurus Pura," ujarnya. Dari penolakan itu kemudian diyakini adanya kutukan kepada keluarga besar yang menyebabkan keluarganya akan tetap dalam kemiskinan.
Karena itu ketika usianya telah mencapai 50 tahun, ia menyatakan keinginannya kepada seorang Pedanda untuk menjadi Pemangku. Namun oleh Pedanda itu, Setia malahan dianjurkan menjadi seorang pendeta. "Dengan dukungan keluarga, akhirnya saya belajar ke sejumlah pendeta untuk dapat memenuhi semua syaratnya," ujarnya. Jauh hari sebelumnya, ia mengaku sudah banyak mempelajari ajaran agama Hindu apalagi setelah menjadi Ketua Forum Cendekiawan Hindu Indonesia (FCHI) di tahun 1980-an.
Selain di Denpasar, buku ini rencananya akan dilaunching di Jakarta dan Yogyakarta dengan mengambil tema yang berbeda-beda. "Ada yang melihat dari sisi keragaman budaya, tapi ada juga yang khusus menyoroti sisi politiknya," katanya. Namun ada juga yang menghadirkan diskusi membahasa buku ini sebagai sebuah teknik penulisan biografi layaknya karya sastra.
ROFIQI HASAN
Topik terhangat:
Tarif Baru KRL | Kisruh Kartu Jakarta Sehat | PKS Vs KPK | Vitalia Sesha |Fathanah
Berita lainnya:
KPK: Nama Priyo Budi Santoso Sudah Dicatat
Ronaldo Ditawar Rp 12 Triliun, Madrid Ogah Lepas
SBY Dapat World Statesman Award, Beri 4 Janji