TEMPO.CO, Jakarta - Indonesia tidak akan menandatangani traktat perdagangan senjata global yang disepakati Majelis Umum Perserikatan Bangsa-bangsa April lalu. Traktat tersebut diedarkan ke negara-negara untuk ditandatangani mulai Senin 3 Juni 2013. "Indonesia belum bisa menjadi pihak karena dalam traktat yang disepakati ada provisi yang tidak sesuai dengan Undang-undang kita," kata juru bicara Kementerian Luar Negeri, Michael Tene kepada Tempo, Senin 3 Juni 2013.
Menurut Tene, saat rencana pembuatan traktat tersebut diajukan, Indonesia sangat mendukung dan bahkan menjadi salah satu co-sponsor di Dewan Majelis Umum PBB. Namun pada perkembangannya, dalam traktat final yang disepakati terdapat semacam kondisionalitas.
Tene mengutip Undang-undang Industri Pertahanan No. 12 Tahun 2012 Pasal 43 ayat 5. D menyatakan bahwa dalam pengadaan, pemeliharaan, dan perbaikan alat peralatan pertahanan dan keamanan harus ada "jaminan tidak adanya potensi embargo, kondisionalitas politik dan hambatan penggunaan ..."
Perjanjian tersebut merupakan traktat internasional pertama yang mengatur perdagangan senjata konvensional di dunia. Traktat ini bertujuan untuk mengendalikan perdagangan senjata dan amunisi secara global. Antara lain penjualan tank tempur, artileri kaliber besar, pesawat tempur, helikopter tempur, kapal perang, serta senjata kecil dan senjata ringan.
Meskipun tidak akan mengontrol penggunaan senjata secara domestik, setelah diratifikasi perjanjian ini mensyaratkan setiap negara menetapkan peraturan nasional untuk mengontrol transfer senjata konvensional, mengatur broker senjata, dan menilai risiko penggunaannya terhadap pelanggaran hak asasi manusia.
NATALIA SANTI | GUARDIAN |ABDUL MANAN
Topik terhangat:
Penembakan Tito Kei | Tarif Baru KRL | PKS Vs KPK | Ahmad Fathanah
Berita lainnya:
9 Skenario Kiamat Versi Ilmuwan
3 Menteri Terbaik Ini Bukan dari Parpol
Pendukung Award untuk SBY Mengaku Dibayar US$ 100