TEMPO.CO, Jakarta - Belum adanya sentimen positif dari dalam maupun luar negeri membuat pergerakan rupiah masih bergantung pada intervensi Bank Indonesia. Di transaksi pasar uang hari ini, rupiah mengalami pelemahan 11 poin (0,11 persen) ke level 9.804 per dolar Amerika Serikat (AS).
Head of Treasury Bank BNI, Nurul Eti Nurbaeti, mengatakan rupiah sempat ditransaksikan menguat ke kisaran 9.790 per dolar dipicu oleh meredanya permintaan dolar di awal bulan. Namun, memburuknya data ekonomi global kembali meningkatkan aksi jual aset-aset berisiko. "Akibatnya, rupiah ikut melemah."
Mata uang dolar kembali menguat setelah pertumbuhan data tenaga kerja sektor jasa di AS bulan Mei hanya bertambah 135 ribu orang, di bawah ekspektasi 171 ribu orang. Melemahnya data ini menyusul data manufaktur AS yang juga turun pekan sebelumnya.
Aksi jual saham oleh asing di pasar modal yang mencapai hampir Rp 1,8 triliun turut mempengaruhi rupiah. Hal ini disebabkan pelaku pasar mengantisipasi rilis angka pengangguran Negeri Abang Sam Jumat malam. Apabila angka pengangguran turun dari level 7,5 persen, sentimen global akan kembali membaik.
Di sisi lain, penundaan kenaikan harga BBM masih menjadi perhatian pasar. Tanpa adanya kenaikan, permintaan BBM akan terus meningkat dan impor semakin tinggi dan neraca perdagangan kembali defisit. "Pada akhirnya, BI harus turun tangan untuk menstabilkan nilai tukar," ujar Nurul.
PDAT | M. AZHAR
Topik Terhangat:
Penembakan Tito Kei | Tarif Baru KRL | Kisruh Kartu Jakarta Sehat | PKS Membangkang
Berita Terpopuler:
Pramugari Sriwijaya Air Banjir Dukungan di Twitter
Pramugari Sriwijaya Air Dipukul Pejabat Daerah
4 Indikasi Priyo Diduga Terlibat Proyek Kementerian Agama
Calo Tiket Laga Indonesia Vs Belanda Mulai Beraksi
Spanduk Tolak Kenaikan BBM PKS Dicopot